Sunday 31 January 2016

Opini: Angeline dan Momentum Perubahan Dunia Anak


Opini
Angeline dan Momentum
Perubahan Dunia Anak
Oleh Erry Syahrial
     Dunia anak Indonesia kembali tergonjang dengan kematian tragis yang dialami An­geline, bocah berusia 8 tahun yang tinggal bersama keluarga angkatnya di Bali. Sejak dilaporkan hilang hingga ditemukan jadi mayat, dan terus berlanjut pada pengungka­pan kasus kematiannya menyita perhatian masyarakat di seluruh Tanah Air. Kini peny­idik sudah menetapkan ibu asuhnya, Mar­griet Christina Megawe, sebagai tersangka pembunuhan.

     Gadis belia tersebut ditemukan ketika sudah menjadi mayat di belakang rumah orangtua angkatnya. Ditemukan dalam keadaan tra­gis, hasil otopsi menujunjukkan mayatnya penuh luka penyiksaan, sodokan api rokok dan lainnya. 

     Serentetan penganiayaan dialami oleh bocah cantik tersebut hari demi hari sebelum meregang nyawa ditangan orang yang mestinya melindunginya. Gadis kecil itu bertaruh nyawa di dalam keluarga yang tidak peduli, sehingga ibu angkatnya juga ditetapkan sebagai tersangka kasus penelantaran terhadap Angeline.

     Angeline sudah pergi meninggalkan dunia yang tidak layak dan tidak adil baginya. Air mata publik tumpah menangis mengetahui penderitaan yang dialami Angeline. Mestinya ia hidup, tumbuh dan dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang seperti jutaan anak lainnya. Semestinya, ia menghabiskan waktunya untuk bermain bersama teman-temannya dan belajar, bukan untuk bekerja di rumah dalam tekanan dan siksaan.

     Kalau ia bisa memilih takdir, tentu ia ingin kem­ bali pada keluarga kandungnya, kembali ke tangan orangtua yang melahirkannya. Meskipun miskin, tentu kasih sayang orangtua jauh lebih beharga dan sangat diinginkan anak. Untuk apa hidup di tengah keluarga angkat yang kaya kalau kehadirannya tidak diinginkan. Untuk apa dapat warisan banyak, ketika harta tersebut menyimpan bencana. Justeru yang ada hanya kehiduan neraka bagi anak.

Angeline adalah anak kecil yang tidak bisa berbuat apa untuk menentukan nasibnya sendiri. Nasibnya ditentukan oleh orang-orang dewasa yang ada disekitarnya. Bagaimana orang-orang yang ada di dekatnya memperlakunnya sehari-hari. Dunia anak adalah dunia yang diciptakan orang dewasa. Akhirnya, keinginan Angeline kembali ke pangkuan ibu kandung dan keluarga besarnya terkabul, namun dalam keadaan tidak bernyawa. 

Angeline memang sudah pergi dengan penuh luka dan derita. Jangan jadikan kematiannya sia-sia, tanpa kita dapat pelajaran yang berharga. Kematian Angeline dan kasus-kasus anak yang besar lainnya adalah momentum perubahan dunia anak Indonesia ke arah yang lebih baik. Kematiannya harusnya men­jadi renungan dan pelajaran berharga bagi banyak pihak, mulai dari orangtua, masyarakat, aktivis per­lindungan anak hingga pemerintah. Angeline adalah secercah cahaya lilin pada sebagian anak Indonesia yang tidak beruntung. 

Ada sesuatu berharga di balik suatu peristiwa besar. Peristiwa bisa mendorong perubahan besar. Seberapa besar perubahan tersebut tergantung pada seberapa besar perhatian dan tekanan publik, bagaimana sorotan media massa, bagaimana kondisi realitas kebijakan yang berlum berpihak dan juga tergantung seberapa besar harapan masyarakat ban­yak. Semua itu menjadi tekanan kepada pemerintah dan stakeholder yang ada untuk membuat peruba­han kebijakan yang lebih proanak.

     Beberapa mega kasus anak juga pernah terjadi di Indonesia, menyita perhatian publik dan stakeholder anak dan pemerintah. Bahkan beberapa kasus yang terjadi tersebut menjadi pintu masuk, pendorong percepatan perubahan berbagai kebijakan terkait anak di Indonesia sehingga lahirlah UU, revisi UU, Instruksi Presiden dan lainnya. Berikut ini adalah beberapa mega kasus anak yang menjadi momentum perubahan dunia anak di Indonesia.

Kasus JIS Mendorong GN-AKSA
     Masih ingat kasus sodomi dan kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Indo­nesia bahkan dunia heboh dengan kasus sodomi yang menimpa pelajar di sekolah bertaraf internasional terse­but. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak tersebut adalah guru dan cleaning service di sekolah tersebut. Para pelaku sudah divonis bersalah oleh pengadilan dan saat ini ada upaya banding dari pelaku di pengadilan tinggi Jakarta karena tidak terima tingginya hukuman yan diterima. Salah satu pelaku, memilih bunuh diri dalam penjara saat proses hukum belum sampai ke persidangan. 

     Belum reda kasus JIS, serentetan peristiwa kekeras­an seksual di berbagai daerah mencuat ke permukaan, seperti kasus sodomi yang dilakukan Emon di Garut terhadap puluhan anak remaja, kasus penculikan dan pemerkosaan terhadap pelajar MTsN di Payakumbuh. Kepri juga tidak lupa dari terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak baik yang terjadi dalam lingkun­gan rumah tangga, lingkungan sekolah dan masyarakat. Diantaranya kasus pelecehan seksual oleh Kepsek SMP terhadap siswi di salah satu SMP di Batamcentre, kasus sodomi 9 anak SD di Tambelan, Bintan oleh pelatih sepakbolanya dan masih banyak kasus kejahatan sek­sual lainnya. 

     Berbagai kejahatan seksual terhadap anak tersebut menjadi perhatian serius Soesilo Bambang Yudhoyono, selaku Presiden RI waktu itu bersama kementerian terkait. Akhirnya, pada 11 juni 2014, lahirlah Instruksi Presiden No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak. Lewat Inpres ini, Presiden mengintruksikan ke berbagai kementerian, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga gubernur dan walikota/bupati di seluruh Indonesia untuk melaku­kan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak.

Kasus JIS dan merebaknya kekerasal seksual terh­adap anak juga mendorong direvisinya UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindugan Anak sehingga lahirlah UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU yang lama, hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual dan pencabulan terhadap anak sangat ringan sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Pasal yang ikut direvisi adalah dinaikkan ancaman hukuman minimal bagi penjahat kelamin dari minimal 3 tahun menjadi minimal 5 tahun. Hasil revisi disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 dan langsung diberlakukan.

Kasus Raju Dorong Lahirnya UU SPPA
Raju alias Muhammad Azuar adalah pelajar SDN di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang dijadikan tersangka dan ditahan gara-gara berkelahi dengan te­mannya, Armansyah. Raju dilaporkan ke polisi orangtua Raju tidak mau memberi biaya berobat atas sakit bagian perut yang dialami Armasyah. Ada tiga versi tanggal kelahiran Raju. Dalam BAP, saat kejadian perkara Raju berumur 8 tahun tiga bulan. Sedangkan, Raju dalam Kartu Keluarga yang dikeluarkan pada 4 Februari 2004 tercatat lahir pada 9 Desember 1997, sehingga saat keja­dian perkara ia baru berumur 7 tahun 8 bulan. Polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupaya mencari bukti baru dari buku raport Raju yang dikeluarkan sekolahnya dinyatakan bahwa anak itu lahir pada 5 Desember 1996. Anak yang belum lagi berusia 9 tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya dengan dalih mengikuti prosedur. 

     Ada juga AAL (15), siswa SMK di Palu Sulawesi Tengah yang dilaporkan dan diproses secara hukum gara-gara mencuri sepasang sandal milik polisi, Brigadir Ahmad Rusdi Harapan. Polisi tersebut geram sandalnya hilang sehingga memilih memenjarakan Aal. Padahal, kerugian yang dialami korban hanyalah sedikit, namun akibatnya anak harus dihukum sehingga kehilangan pendidikannya.

     Kasus Raju di Medan dan kasus sandal jepit sudah mendorong digantinya UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU Pengadilan Anak dinilai mengkriminalisasi anak dibawah umur serta tidak mencerminkan adanya perlindungan anak bagi anak yang berhadapan hu­kum (ABH). ABH tidak terlindungi hak-haknya, dan setiap anak yang melakukan pelanggaran pidana ke­banyakan berlanjut pemidanaan dan pemenjaraan. Usia pertanggung hukum terhadap anak juga sangat tidak manusiawi dan layak untuk anak, dimana anak 8 tahun ke atas boleh diproes secara hukum dan dilakukan penahanan. 

     UU Pengadilan Anak yang lebih dahulu lahir ketimbang UU Perlindungan Anak menyebabkan aspek perlindungan anak tidak tercermin dalam UU yang mengatur tata cara pidana bagi ABH tersebut. Munculnya kasus Raju, AAL dan beberapa kasus anak yang melakukan pidana menjadi momentum men­dorong terhadap revisi UU Pengadilan Anak. Hasilnya, tanggal 31 Juli 2012 lahirlah UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang mulai berlaku 2 tahun kemudian, yaitu 31 Juli 2014. Kehadiran UU baru ini lebih ramah untuk menangani perkara anak yang melakukan tindakan pidana. UU SPPA ini telah menyelamatkan ribuan anak Indonesia dari pemenjaraan dan saksi pidana. Ini disebabkan karena telah dinaikkannya usia pertanggungjawab hukum bagi anak dari usia 8 tahun menjadi minimal 12 tahun, serta adanya kewajiban APH (penyidik, jaksa, dan hakim) untuk melakukan restorative justice dan diversi atau mencari alternatif hukuman di luar penjara atau peradilan formal.

Pasca Kasus Angeline
    Kembali ke kasus Angeline. Bagi pemerintah, kasus Angeline bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi dan perbaikan beberapa kebijakan anak dan implementasinya di tengah masyarakat. Diantara adalah implementasi yang ketat tentang tata cara adopsi atau pengangkatan anak, termasuk oleh WNA dan penegakkan hukum kasus penelantaran dan ek­sploitasi anak.

Sebenarnya aturan soal pengangkatan anak ini merupakan kebijakan yang baru keluar dan diber­lakukan. Selain UU Pelindungan Anak, pengangkatan anak atau adopsi diatur dalam Pasal 39 UU No 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, serta Peraturan Mensos No 110/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak. Cuma permasalahannya adalah kurangnya sosialisasi peraturan ke masyarakat dan tidak adanya proses penegakkan hukum terhadap sipelanggar. Aparat tidak bisa bertindak karena tidak adanya laporan masyarakat. Sementara masyarakat sendiri banyak yang tidak paham, ada yang tahu memilih diam. 

     Kasus Angeline bisa memperkuat penegakkan hukum terhadap penelantaran anak oleh siapa saja, baik orangtua kandung, orangtua asuh/angkat, wali atau siapa saja yang melakukan kelalaian dan kesalahan dalam pengasuhan anak sehingga anak menderita atau bahkan meninggal karena tidak terpenuhi kebutuhannya atau perlindungan secara fisik, psikis dan sosial. 

     Sebelumnya, penelantaran terhadap 5 anak kandung oleh orangtua kandung yang mengheboh­kan di Cibubur juga diproses hukum. Dua kasus penelantaran ini bisa menjadi acuan kedepan bagi penyidik di berbagai daerah untuk menjerat pelaku penelantaan. Selama ini, aparat penegak hukum masih ‘’gamang’’ memproses secara hukum kasus penelantaran anak. 

     Setiap datang ombak maka tepian pantai pun berubah. Perubahan bentuk dan kultur pantai berubah sesuai dengan terpaan ombak yang da­tang. Semakin besar ombak dan gelombang yang datang semakin besar pula perubahan yang nam­pak di pantai. Kematian Angeline adalah arus dan gelombang itu. Kematiannya merupakan satu dari sekian peristiwa besar pada anak yang mengubah dan memperbaiki dunia anak Indonesia yang lebih baik.
Share this article :

No comments:

Post a Comment