Wednesday 1 July 2015

Geng Motor dan Fenomena Meningkatnya Kriminalitas Anak



   Kriminalitas yang kerap membuat resah masyarakat Batam belakangan ini adalah geng motor dan meningkatnya aksi kriminilitas pembegalan yang dilakukan remaja di jalanan. Tidak pandang korban, baik dewasa maupun anak, laki-laki atau perempuan, semua disikat untuk mendapatkan harta milik korban. Korban luka berat, sekarat hingga meninggal akibat pencurian yang disertai dengan kekerasan. Korban diincar dan dibuntuti di jalanan hingga tempat sepi, bahkan ada kelompok geng motor Ganesa yang mencari korbannya lewat jejaring sosial. Saat beraksi, korban yang merupakan siswi SMK di Batam tersebut ditusuk hingga koma dan akhirnya meninggal.


     Ada korelasi antara munculnya geng motor den- gan banyaknya aksi kriminalitas di jalanan. Korelasi tersebut ditanggapi pihak kepolisian dengan melaku- kan razia rutin terhadap kelompok remaja bermotor di jalanan untuk mencegah aksi serupa. Akar persoalan- nya sebenarnya terletak dalam lingkungan keluarga dan peran orangtua. Apa upaya pencegahan yang bisa dilakukan orangtua dan pendidik untuk menekan agresifitas remaja di luar rumah? 
 

   Dari segi nama, geng berarti kelompok, tapi lebih terkesan negatif dan berbau kriminal.  Kelom- pok ini terbentuk dari anggotanya yang sama-sama memiliki sepeda motor, suka berkumpul,  beraksi di jalanan. Geng motor berbeda dengan komunitas motor, meski sama-sama menggunakan sepeda motor. Yang membuat berbeda adalah latar belakang dan tujuan pembentukan kelompok. Bentuk kegiatan, rekruitmen, struktur organisasai, waktu dan tempat ngumpul dan lain juga berbeda. Jika komunitas motor kegiatannya lebih kepada kegiatan sosial, berbeda dengan  geng motor yang mengarah kepada pelanggaran hukum dan kriminalitas di jalanan. Tidak heran lokasi markas, tempat kumpul, dan waktu beraksi di jalanan selalu malam hari dan kucing-kucingan dengan kepolisian.

 

   Aksi geng motor yang terlibat sebagai pelaku kriminalitas tidak lepas dari sikap imitasi kelompok remaja di Batam terhadap kelompok geng motor kota lain yang lebh dahulu terbentuk. Pola kegiatan, kekerasan  dan kriminalitas  yang terjadi seperti copy paste dari kelompok geng motor di kota lain seperti di Kota Bandung. Ibarat virus yang menjalar ke berbagai kota, dan hampir di kota besar di Indonesia terbentuk geng motor.

    Di Kepri, geng motor sudah meresahkan masyarakat Batam dan Tanjungpinang.  Kriminalitas di jalanan seperti pencurian sepeda motor, penjambretan, perampokan, pengeroyokan, perusakan properti milik umum dan properti warga dan lainnya dipicu oleh maraknya aksi geng motor. 


   Kekerasan juga terjadi di internal geng motor. Calon anggota geng motor tidak begitu saja diterima sebagai anggota baru kalau tidak diuji nyali terlebih dahulu. Ujiannya adalah harus melakukan aksi krimi- nalitas yang perintahkan oleh ketua geng motor seperti menjambret, merampok dan tidak segan-segan sampai melukai korbannya. Hasil yang didapat dari kejahatan digunakan untuk eksistensi geng baik secara kelompok maupun pribadi.


Anak Pelaku Kriminalitas

    Kriminalitas pada anak tidak langsung terjadi sehingga ia berhadapan dengan proses hukum. Defenisi ABH tersebut mengalami perbaikan lagi begitu saja. Ada proses yang dilewati seorang anak sehingga akhirnya ia menjadi pelaku kejahatan. Awal- nya anak melakukan kenakalan dan pelanggaran terh- adap nilai, norma atau kaidah yang berlaku di rumah, sekolah atau di lingkungan masyarakat. Inilah yang disebut sebagai kenakalan remaja. Bentuk pelanggaran ini seperti kabur dari rumah, melanggar peraturan sekolah, minum-minuman keras, ngelem dan lainnya. Pelangaran tersebut tidak bisa dihukum karena belum termasuk kategori tindak pidana.
 

    Bila anak sudah terbiasa melakukan pelanggaran norma sosial tersebut maka ia semakin rentan melaku- kan pelanggaran yang lebih berat yaitu pelanggaran hukum. Bila anak sudah terbiasa ngelem maka ia tak berpikir panjang untuk  mencicipi narkoba, bila ia ter- biasa minum-minuman keras maka tidak segan-segan untuk merampok. 

    Dalam batasan hukum, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja. Pertama, pelang- garan indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk diantaranya adalah pencurian, penyerangan, perko- saan, dan pembunuhan. Kedua, pelanggaran status, diantaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum-minuman beralkohol, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orangtua.

    Anak pelaku kriminalitas bisa dijelaskan melalui defenisi anak nakal dan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Anak nakal yaitu anak yang melakukan pelanggaran norma sosial, tetapi tidak dalam kategori tindak pidana. Anak nakal rentan melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum. Sedangkan anak berhadapan dengan hukum (ABH) atau ada juga yang menyebut anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak dengan kenakalan yang telah diindikasikan melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Pengadilan Anak.
   Dalam UU tersebut, usia ABH untuk pelaku tindak pidana atau disebut anak pelaku dibatasi yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Me- lihat defenisi di atas, anak pelaku kriminalitas adalah anak yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum. Bila umur anak sudah 12 tahun ke atas, anak tersebut sudah bisa diproses secara hukum.


Salah Memilih Peer Group

    Usia remaja adalah usia dimana manusia mulai mengenal dan membentuk peer group atau kelompok sebaya. Bahkan dalam usia tersebut, kedekatan anak dengan teman atau kelompoknya lebih dekat diband- ingkan  dengan keluarga. Peer group semakin penting bagi anak tatkala ia tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya.  Saat ia diterima kel- ompok sebayanya, anak merasa lebih nyaman berada di luar rumah. Ia semakin banyak menghabiskan waktu di luar rumah, jauh dari pengawasan orangtuanya. Bila demikian, sianak cinderung  melakukan hal-hal yang negatif dan berperilaku menyimpang. Penyimpan- gan tersebut bisa ditularkan oleh teman-temannya, pengaruh lingkungan, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan sebagainya.


   Dalam usia remaja yang merupakan masa pancar- oba bagi anak, kehadiran teman dan peer group sangat penting dan segala-galanya. Bahkan lebih penting dari dari orangtua dan keluarga. Semangat untuk berkum- pul dengan kelompok sepermainan begitu mengebu- gebu, kalo bisa sepanjang waktu, hingga larut malam hingga lupa pulang. Berbagai alasan bisa diutarakan anak kepada orangtua agar bisa ketemu atau kembali berkumpul bersama teman-temannya. 


   Semakin lama anak tidak menyadari bahwa di- rinya sudah terlalu jauh menyimpang. Tidak peduli lagi dengan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, menganggap biasa melakukan pelanggaran hukum. Maka tidak heran kalau anggota geng motor melakukan kejahatan sebagai bentuk solidaritas teman, perasaan senasib, bentuk balas budi terhadap kebaikan teman dan sebagainya. Inilah yang dilakukan Ds, anggota geng motor Ganesa yang merampok Dwi Melia Ningsih baru- baru ini.  Harta benda korbannya berupa sepeda motor, laptop dan ponsel dirampok, korban pun kemudian ditusuk hingga akhirnya tewas.
 

    Remaja masuk dalam lingkungan yang salah dan terjebak dalam lingkaran kekerasan/kejahatan.   Mereka sulit keluar dan lepas dari belenggu komunitasnya. Mereka masuk komunitas dengan harus melakukan kekerasan dan kriminalitas.  Bila muncul kesadaran untuk keluar dari anggota geng, baik atas dorongan pribadi maupun desakan orangtua, mereka juga sulit keluar. Keluar berarti siap-siap  menjadi incaran kekerasan anggota komunitasnya. Begitu hukum alam yang berlaku dalam geng kejahatan, termasuk yang dilakoni anak-anak remaja. 


   Sebenarnya sebelum pelaku mengeksekusi perintah pikiran menjadi tindakan kriminalitas, dalam dirinya pasti ada pertentangan di dalam dirinya. Antara nilai-nilai kebaikan yang bersemayang dalam alam bawah sadar pelaku (kata hati) dengan doron- gan syahwat kejahatan di pihak lain. Kata hati terse- but berupa: ini tindakan yang salah, berdosa,  akan dibenci masyarakat, bakal dihukum bila tertangkap dan lainnya. Kata hati tersebut merupakan nilai-nilai yang ditanamkan orangtua dan guru lewat apa yang disebut sebagai poses pendidikan. Pendidikan tersebut diimplementasikan dalam bentuk pola asuh orangtua di rumah dan pola dididik di sekolah.


    Namun acap kali anak kalah melawan tekanan te- man, tekanan kelompok dan gejolak yang berkecamuk dalam dirinya. Ini terjadi karena nilai-nilai konstruktif  (membangun) yang didapat anak selama ini sedikit hingga tidak cukup untuk membentengi diri dari segala bentuk tekanan, godaan, bujuk rayu dari teman dan kelompoknya. Ditambah lagi dalam perasaan diri anak ada perasaan atau anggapan ditelantarkan orangtua dan keluarganya yang memaksa dia sering ke jalan. Sementara hal-hal yang merusak (destruktif) anak lebih kencang daya rusaknya. 


    Awal melakukan penyimpangan dan perilaku kriminal tentu ada perasaan bersalah dan menyesal bagi pelaku. Namun perasaan bersalah tersebut lama- lama berkurang dan menghilang. Semakin lama yang tinggal perasaan biasa saja, bahkan muncul kebanggaan melakukan kejahatan. Ditambah lagi bila teman dan anggota komunitas memberikan pujian terhadap aksi kriminalitas yang dilakukan. Ia dinilai berjasa untuk membesarkan kelompoknya, beranggapan  kelompok lain akan segan. Keberhasilan anggota geng dinilai seberapa banyak dan seberapa kejam ia melakukan kejahatan. 


Kegagalan di Rumah

    Munculnya perilaku menyimpang, kenakalan remaja dan aksi kriminalitas yang dilakukan anak di luar rumah tidak lepas dari rusaknya pola asuh orang- tua di rumah. Kerusakan pola asuh tersebut bisa berupa anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang, tidak adanya komunikasi yang baik antara anak dengan orangtua, tidak adanya pengawasan dari orangtua, minimnya orangtua menanamkan nilai-nilai dan pen- didikan agama, akhlak, moral dan lain sebagainya. 

    Bila dirunut dari hilir ke hulu diketahui bahwa pangkal persoalan anak  termasuk persoalan geng mo- tor berada di dalam keluarga atau rumah tangga. Apa yang dibutuhkan anak tidak ada di rumah. Dalam teori Maslow, dijelaskan hirarki kebutuhan manusia. Dimu- lai dari kebutuhan dasar, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk dihargai dan kebutuhan aktualisasi diri. 

    Seorang remaja memiliki kebutuhan untuk diterima, dicintai, disayangi oleh orangtuanya dan butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga. Namun sebagian anak tidak mendapatkan kebutuhan tersebut sehingga ia mencarinya di luar rumah. Remaja juga memiliki kebutuhan dihargai dan aktualisasi diri. Bila juga tidak terpenuhi di rumah, termasuk di sekolah maka anak mencari di luar rumah lewat kelompok sebayanya. Remaja ingin diterima baik oleh teman- temannya, tidak ingin ditolak, tidak mau dibenci, tidak suka diejek  dan lainnya. Ia ingin dihargai teman- temannya dan bisa mengaktualisasikan diri dalam group tersebut. Remaja ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan serta menjadi bagian dari sebuah kelompok dan sebagainya. 


    Persoalannya adalah kebanyakan orangtua tidak tahu akan kebutuhan anak-anaknya. Yang banyak disadari para orangtua adalah kebutuhan dasar dan kebutuhan akan rasa aman. Sementara kebutuhan lainnya cinderung diabaikan. Padahal anaknya berada pada usia pancaroba dan masih mencari jati diri. Orang- tua juga sibuk bekerja memenuhi tuntutan ekonomi  sehingga banyak abai terhadap kebutuhan tumbuh kembang anaknya.

Melihat kondisi saat ini, upaya pencegahan yang dilakukan pihak kepolisian dengan razia dan penegakan hukum bagi pelaku kriminalitas memang diperlukan. Namun akar dari persoalan tesebut yaitu orangtua dan keluarga juga harus berperan. Saatnya orangtua menyadari pentingnya pengasuhan yang layak dan memperhatikan kebutuhan anak di rumah. Bila ini dilakukan, semakin sedikit remaja yang kabur dari rumah dan terperangkap dalam kelompok sebaya yang berbau kriminal.   (errysyahrial)
Share this article :

No comments:

Post a Comment