Opini
Angeline dan Momentum
Perubahan Dunia Anak
Oleh Erry Syahrial
Perubahan Dunia Anak
Oleh Erry Syahrial
Dunia anak Indonesia kembali
tergonjang dengan kematian tragis yang dialami Angeline, bocah berusia 8 tahun
yang tinggal bersama keluarga angkatnya di Bali. Sejak dilaporkan hilang hingga
ditemukan jadi mayat, dan terus berlanjut pada pengungkapan kasus kematiannya
menyita perhatian masyarakat di seluruh Tanah Air. Kini penyidik sudah
menetapkan ibu asuhnya, Margriet Christina Megawe, sebagai tersangka
pembunuhan.
Gadis belia tersebut ditemukan ketika sudah
menjadi mayat di belakang rumah orangtua angkatnya. Ditemukan dalam keadaan tragis,
hasil otopsi menujunjukkan mayatnya penuh luka penyiksaan, sodokan api rokok
dan lainnya.
Serentetan penganiayaan dialami oleh bocah
cantik tersebut hari demi hari sebelum meregang nyawa ditangan orang yang
mestinya melindunginya. Gadis kecil itu bertaruh nyawa di dalam keluarga yang
tidak peduli, sehingga ibu angkatnya juga ditetapkan sebagai tersangka kasus
penelantaran terhadap Angeline.
Angeline sudah pergi meninggalkan dunia yang tidak layak
dan tidak adil baginya. Air mata publik tumpah menangis mengetahui penderitaan
yang dialami Angeline. Mestinya ia hidup, tumbuh dan dibesarkan dengan cinta
dan kasih sayang seperti jutaan anak lainnya. Semestinya, ia menghabiskan
waktunya untuk bermain bersama teman-temannya dan belajar, bukan untuk bekerja
di rumah dalam tekanan dan siksaan.
Kalau ia bisa memilih takdir, tentu ia ingin kem bali
pada keluarga kandungnya, kembali ke tangan orangtua yang melahirkannya.
Meskipun miskin, tentu kasih sayang orangtua jauh lebih beharga dan sangat
diinginkan anak. Untuk apa hidup di tengah keluarga angkat yang kaya kalau
kehadirannya tidak diinginkan. Untuk apa dapat warisan banyak, ketika harta
tersebut menyimpan bencana. Justeru yang ada hanya kehiduan neraka bagi anak.
Angeline
adalah anak kecil yang tidak bisa berbuat apa untuk menentukan nasibnya
sendiri. Nasibnya ditentukan oleh orang-orang dewasa yang ada disekitarnya.
Bagaimana orang-orang yang ada di dekatnya memperlakunnya sehari-hari. Dunia
anak adalah dunia yang diciptakan orang dewasa. Akhirnya, keinginan Angeline
kembali ke pangkuan ibu kandung dan keluarga besarnya terkabul, namun dalam
keadaan tidak bernyawa.
Angeline
memang sudah pergi dengan penuh luka dan derita. Jangan jadikan kematiannya
sia-sia, tanpa kita dapat pelajaran yang berharga. Kematian Angeline dan
kasus-kasus anak yang besar lainnya adalah momentum perubahan dunia anak
Indonesia ke arah yang lebih baik. Kematiannya harusnya menjadi renungan dan
pelajaran berharga bagi banyak pihak, mulai dari orangtua, masyarakat, aktivis
perlindungan anak hingga pemerintah. Angeline adalah secercah cahaya lilin
pada sebagian anak Indonesia yang tidak beruntung.
Ada sesuatu
berharga di balik suatu peristiwa besar. Peristiwa bisa mendorong perubahan
besar. Seberapa besar perubahan tersebut tergantung pada seberapa besar
perhatian dan tekanan publik, bagaimana sorotan media massa, bagaimana kondisi
realitas kebijakan yang berlum berpihak dan juga tergantung seberapa besar
harapan masyarakat banyak. Semua itu menjadi tekanan kepada pemerintah dan
stakeholder yang ada untuk membuat perubahan kebijakan yang lebih proanak.
Beberapa mega kasus anak juga pernah terjadi di Indonesia,
menyita perhatian publik dan stakeholder anak dan pemerintah. Bahkan beberapa
kasus yang terjadi tersebut menjadi pintu masuk, pendorong percepatan perubahan
berbagai kebijakan terkait anak di Indonesia sehingga lahirlah UU, revisi UU,
Instruksi Presiden dan lainnya. Berikut ini adalah beberapa mega kasus anak
yang menjadi momentum perubahan dunia anak di Indonesia.
Kasus JIS Mendorong GN-AKSA
Masih ingat kasus sodomi dan
kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Indonesia
bahkan dunia heboh dengan kasus sodomi yang menimpa pelajar di sekolah bertaraf
internasional tersebut. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak tersebut adalah
guru dan cleaning service di sekolah tersebut. Para pelaku sudah divonis
bersalah oleh pengadilan dan saat ini ada upaya banding dari pelaku di
pengadilan tinggi Jakarta karena tidak terima tingginya hukuman yan diterima.
Salah satu pelaku, memilih bunuh diri dalam penjara saat proses hukum belum
sampai ke persidangan.
Belum reda kasus JIS, serentetan
peristiwa kekerasan seksual di berbagai daerah mencuat ke permukaan, seperti
kasus sodomi yang dilakukan Emon di Garut terhadap puluhan anak remaja, kasus
penculikan dan pemerkosaan terhadap pelajar MTsN di Payakumbuh. Kepri juga
tidak lupa dari terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak baik yang
terjadi dalam lingkungan rumah tangga, lingkungan sekolah dan masyarakat.
Diantaranya kasus pelecehan seksual oleh Kepsek SMP terhadap siswi di salah
satu SMP di Batamcentre, kasus sodomi 9 anak SD di Tambelan, Bintan oleh
pelatih sepakbolanya dan masih banyak kasus kejahatan seksual lainnya.
Berbagai kejahatan seksual terhadap anak tersebut menjadi
perhatian serius Soesilo Bambang Yudhoyono, selaku Presiden RI waktu itu
bersama kementerian terkait. Akhirnya, pada 11 juni 2014, lahirlah Instruksi
Presiden No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual
terhadap Anak. Lewat Inpres ini, Presiden mengintruksikan ke berbagai
kementerian, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga gubernur dan walikota/bupati
di seluruh Indonesia untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan
kejahatan seksual terhadap anak.
Kasus JIS dan
merebaknya kekerasal seksual terhadap anak juga mendorong direvisinya UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindugan Anak sehingga lahirlah UU No 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Dalam UU yang lama, hukuman terhadap pelaku
kejahatan seksual dan pencabulan terhadap anak sangat ringan sehingga tidak
memberikan efek jera bagi pelaku. Pasal yang ikut direvisi adalah dinaikkan
ancaman hukuman minimal bagi penjahat kelamin dari minimal 3 tahun menjadi
minimal 5 tahun. Hasil revisi disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 dan
langsung diberlakukan.
Kasus Raju
Dorong Lahirnya UU SPPA
Raju alias
Muhammad Azuar adalah pelajar SDN di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang
dijadikan tersangka dan ditahan gara-gara berkelahi dengan temannya,
Armansyah. Raju dilaporkan ke polisi orangtua Raju tidak mau memberi biaya
berobat atas sakit bagian perut yang dialami Armasyah. Ada tiga versi tanggal
kelahiran Raju. Dalam BAP, saat kejadian perkara Raju berumur 8 tahun tiga
bulan. Sedangkan, Raju dalam Kartu Keluarga yang dikeluarkan pada 4 Februari
2004 tercatat lahir pada 9 Desember 1997, sehingga saat kejadian perkara ia
baru berumur 7 tahun 8 bulan. Polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupaya
mencari bukti baru dari buku raport Raju yang dikeluarkan sekolahnya dinyatakan
bahwa anak itu lahir pada 5 Desember 1996. Anak yang belum lagi berusia 9 tahun
ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya dengan dalih
mengikuti prosedur.
Ada juga AAL (15), siswa SMK di Palu Sulawesi Tengah yang
dilaporkan dan diproses secara hukum gara-gara mencuri sepasang sandal milik
polisi, Brigadir Ahmad Rusdi Harapan. Polisi tersebut geram sandalnya hilang
sehingga memilih memenjarakan Aal. Padahal, kerugian yang dialami korban
hanyalah sedikit, namun akibatnya anak harus dihukum sehingga kehilangan
pendidikannya.
Kasus Raju di Medan dan kasus sandal
jepit sudah mendorong digantinya UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menjadi UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU Pengadilan
Anak dinilai mengkriminalisasi anak dibawah umur serta tidak mencerminkan
adanya perlindungan anak bagi anak yang berhadapan hukum (ABH). ABH tidak
terlindungi hak-haknya, dan setiap anak yang melakukan pelanggaran pidana kebanyakan
berlanjut pemidanaan dan pemenjaraan. Usia pertanggung hukum terhadap anak juga
sangat tidak manusiawi dan layak untuk anak, dimana anak 8 tahun ke atas boleh
diproes secara hukum dan dilakukan penahanan.
UU Pengadilan Anak yang lebih dahulu
lahir ketimbang UU Perlindungan Anak menyebabkan aspek perlindungan anak tidak
tercermin dalam UU yang mengatur tata cara pidana bagi ABH tersebut. Munculnya
kasus Raju, AAL dan beberapa kasus anak yang melakukan pidana menjadi momentum
mendorong terhadap revisi UU Pengadilan Anak. Hasilnya, tanggal 31 Juli 2012
lahirlah UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang mulai berlaku 2 tahun kemudian,
yaitu 31 Juli 2014. Kehadiran UU baru ini lebih ramah untuk menangani perkara
anak yang melakukan tindakan pidana. UU SPPA ini telah menyelamatkan ribuan
anak Indonesia dari pemenjaraan dan saksi pidana. Ini disebabkan karena telah
dinaikkannya usia pertanggungjawab hukum bagi anak dari usia 8 tahun menjadi
minimal 12 tahun, serta adanya kewajiban APH (penyidik, jaksa, dan hakim) untuk
melakukan restorative justice dan diversi atau mencari alternatif
hukuman di luar penjara atau peradilan formal.
Pasca Kasus Angeline
Kembali ke kasus Angeline. Bagi pemerintah, kasus Angeline
bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi dan perbaikan beberapa
kebijakan anak dan implementasinya di tengah masyarakat. Diantara adalah
implementasi yang ketat tentang tata cara adopsi atau pengangkatan anak,
termasuk oleh WNA dan penegakkan hukum kasus penelantaran dan eksploitasi
anak.
Sebenarnya
aturan soal pengangkatan anak ini merupakan kebijakan yang baru keluar dan
diberlakukan. Selain UU Pelindungan Anak, pengangkatan anak atau adopsi diatur
dalam Pasal 39 UU No 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, serta Peraturan Mensos No 110/2009
tentang persyaratan pengangkatan anak. Cuma permasalahannya adalah kurangnya
sosialisasi peraturan ke masyarakat dan tidak adanya proses penegakkan hukum
terhadap sipelanggar. Aparat tidak bisa bertindak karena tidak adanya laporan
masyarakat. Sementara masyarakat sendiri banyak yang tidak paham, ada yang tahu
memilih diam.
Kasus Angeline bisa memperkuat
penegakkan hukum terhadap penelantaran anak oleh siapa saja, baik orangtua
kandung, orangtua asuh/angkat, wali atau siapa saja yang melakukan kelalaian
dan kesalahan dalam pengasuhan anak sehingga anak menderita atau bahkan
meninggal karena tidak terpenuhi kebutuhannya atau perlindungan secara fisik,
psikis dan sosial.
Sebelumnya, penelantaran terhadap 5
anak kandung oleh orangtua kandung yang menghebohkan di Cibubur juga diproses
hukum. Dua kasus penelantaran ini bisa menjadi acuan kedepan bagi penyidik di
berbagai daerah untuk menjerat pelaku penelantaan. Selama ini, aparat penegak
hukum masih ‘’gamang’’ memproses secara hukum kasus penelantaran anak.
Setiap datang ombak maka tepian pantai pun berubah.
Perubahan bentuk dan kultur pantai berubah sesuai dengan terpaan ombak yang datang.
Semakin besar ombak dan gelombang yang datang semakin besar pula perubahan yang
nampak di pantai. Kematian Angeline adalah arus dan gelombang itu. Kematiannya
merupakan satu dari sekian peristiwa besar pada anak yang mengubah dan
memperbaiki dunia anak Indonesia yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment