Kriminalitas yang kerap
membuat resah masyarakat Batam
belakangan ini adalah geng
motor dan meningkatnya
aksi kriminilitas pembegalan yang dilakukan remaja di jalanan.
Tidak pandang korban, baik dewasa maupun anak, laki-laki atau perempuan,
semua disikat untuk mendapatkan harta milik korban. Korban luka berat, sekarat
hingga meninggal akibat pencurian yang disertai dengan kekerasan. Korban
diincar dan dibuntuti di jalanan hingga tempat sepi, bahkan ada kelompok geng
motor Ganesa yang mencari korbannya lewat jejaring sosial. Saat beraksi, korban
yang merupakan siswi SMK di Batam tersebut ditusuk hingga koma dan akhirnya
meninggal.
Ada korelasi antara
munculnya geng motor den- gan banyaknya aksi kriminalitas di jalanan. Korelasi
tersebut ditanggapi pihak kepolisian dengan melaku- kan razia rutin terhadap
kelompok remaja bermotor di jalanan untuk mencegah aksi serupa. Akar persoalan-
nya sebenarnya terletak dalam lingkungan keluarga dan peran orangtua. Apa upaya
pencegahan yang bisa dilakukan orangtua dan pendidik untuk menekan agresifitas
remaja di luar rumah?
Dari segi nama, geng berarti
kelompok, tapi lebih terkesan negatif dan berbau kriminal. Kelom- pok ini terbentuk dari anggotanya yang
sama-sama memiliki sepeda motor, suka berkumpul, beraksi di jalanan. Geng motor berbeda dengan
komunitas motor, meski sama-sama menggunakan sepeda motor. Yang membuat berbeda
adalah latar belakang dan tujuan pembentukan kelompok. Bentuk kegiatan,
rekruitmen, struktur organisasai,
waktu dan tempat ngumpul dan lain juga berbeda. Jika
komunitas motor kegiatannya lebih kepada kegiatan
sosial, berbeda dengan geng motor yang mengarah kepada pelanggaran hukum dan kriminalitas di
jalanan. Tidak heran lokasi markas, tempat kumpul, dan waktu beraksi di
jalanan selalu malam hari dan kucing-kucingan dengan kepolisian.
Aksi geng motor yang
terlibat sebagai pelaku kriminalitas tidak lepas dari sikap imitasi kelompok
remaja di Batam terhadap kelompok geng motor kota lain yang lebh dahulu
terbentuk. Pola kegiatan, kekerasan dan
kriminalitas yang terjadi seperti copy
paste dari kelompok geng motor di kota lain seperti di Kota Bandung. Ibarat
virus yang menjalar ke berbagai kota, dan hampir di kota besar di Indonesia
terbentuk geng motor.
Di Kepri, geng motor sudah meresahkan masyarakat Batam
dan Tanjungpinang. Kriminalitas di
jalanan seperti pencurian sepeda motor, penjambretan, perampokan, pengeroyokan,
perusakan properti milik umum dan properti warga dan lainnya dipicu oleh
maraknya aksi geng motor.
Kekerasan juga terjadi di
internal geng motor. Calon anggota geng motor tidak begitu saja diterima
sebagai anggota baru kalau tidak diuji nyali terlebih dahulu. Ujiannya adalah
harus melakukan aksi krimi- nalitas yang perintahkan oleh ketua geng motor seperti
menjambret, merampok dan tidak segan-segan sampai melukai korbannya. Hasil yang
didapat dari kejahatan digunakan untuk eksistensi geng baik secara kelompok
maupun pribadi.
Anak Pelaku Kriminalitas
Kriminalitas pada anak
tidak langsung terjadi sehingga ia berhadapan
dengan proses hukum. Defenisi ABH tersebut mengalami perbaikan lagi begitu saja. Ada proses yang dilewati seorang
anak sehingga akhirnya ia menjadi pelaku kejahatan. Awal- nya anak melakukan
kenakalan dan pelanggaran terh- adap nilai, norma atau kaidah yang berlaku di
rumah, sekolah atau di lingkungan masyarakat. Inilah yang disebut sebagai
kenakalan remaja. Bentuk pelanggaran ini seperti kabur dari rumah, melanggar
peraturan sekolah, minum-minuman keras, ngelem dan lainnya. Pelangaran tersebut
tidak bisa dihukum karena belum termasuk kategori tindak pidana.
Bila anak sudah terbiasa
melakukan pelanggaran norma sosial tersebut maka ia semakin rentan melaku- kan
pelanggaran yang lebih berat yaitu pelanggaran hukum. Bila anak sudah terbiasa
ngelem maka ia tak berpikir panjang untuk
mencicipi narkoba, bila ia ter- biasa minum-minuman keras maka tidak
segan-segan untuk merampok.
Dalam batasan hukum,
terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja. Pertama, pelang- garan
indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja.
Perilaku yang termasuk diantaranya adalah pencurian, penyerangan, perko- saan,
dan pembunuhan. Kedua, pelanggaran status, diantaranya adalah kabur dari rumah,
membolos sekolah, minum-minuman beralkohol, perilaku seksual, dan perilaku yang
tidak mengikuti peraturan sekolah atau orangtua.
Anak pelaku kriminalitas
bisa dijelaskan melalui defenisi anak nakal dan anak yang berhadapan dengan
hukum (ABH). Anak nakal yaitu anak yang melakukan pelanggaran norma sosial,
tetapi tidak dalam kategori tindak pidana. Anak nakal rentan melakukan tindak
pidana atau pelanggaran hukum. Sedangkan anak berhadapan dengan hukum (ABH) atau
ada juga yang menyebut anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak dengan
kenakalan yang telah diindikasikan melakukan pelanggaran hukum atau tindak
pidana dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Pengadilan Anak.
Dalam
UU tersebut, usia ABH untuk pelaku tindak pidana atau disebut anak pelaku
dibatasi yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun
yang diduga melakukan tindak pidana. Me- lihat defenisi di atas, anak pelaku
kriminalitas adalah anak yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum.
Bila umur anak sudah 12 tahun ke atas, anak tersebut sudah bisa diproses secara
hukum.
Usia remaja adalah usia
dimana manusia mulai mengenal dan membentuk peer group atau kelompok sebaya.
Bahkan dalam usia tersebut, kedekatan anak dengan teman atau kelompoknya lebih
dekat diband- ingkan dengan keluarga.
Peer group semakin penting bagi anak tatkala ia tidak mendapatkan kasih sayang
dan perhatian dari orangtuanya. Saat ia
diterima kel- ompok sebayanya, anak merasa lebih nyaman berada di luar rumah.
Ia semakin banyak menghabiskan waktu di luar rumah, jauh dari pengawasan
orangtuanya. Bila demikian, sianak cinderung
melakukan hal-hal yang negatif dan berperilaku menyimpang. Penyimpan-
gan tersebut bisa ditularkan oleh teman-temannya, pengaruh lingkungan, pengaruh
kemajuan teknologi informasi dan sebagainya.
Dalam usia remaja yang
merupakan masa pancar- oba bagi anak, kehadiran teman dan peer group sangat
penting dan segala-galanya. Bahkan lebih penting dari dari orangtua dan
keluarga. Semangat untuk berkum- pul dengan kelompok sepermainan begitu
mengebu- gebu, kalo bisa sepanjang waktu, hingga larut malam hingga lupa
pulang. Berbagai alasan bisa diutarakan anak kepada orangtua agar bisa ketemu
atau kembali berkumpul bersama teman-temannya.
Semakin lama anak tidak
menyadari bahwa di- rinya sudah terlalu jauh menyimpang. Tidak peduli lagi dengan nilai-nilai yang berlaku di tengah
masyarakat, menganggap biasa melakukan pelanggaran hukum. Maka tidak heran
kalau anggota geng motor melakukan kejahatan sebagai bentuk solidaritas teman,
perasaan senasib, bentuk balas budi terhadap kebaikan teman dan sebagainya.
Inilah yang dilakukan Ds, anggota geng motor Ganesa yang merampok Dwi Melia
Ningsih baru- baru ini. Harta benda
korbannya berupa sepeda motor, laptop dan ponsel dirampok, korban pun kemudian
ditusuk hingga akhirnya tewas.
Remaja masuk dalam
lingkungan yang salah dan terjebak dalam lingkaran kekerasan/kejahatan. Mereka sulit keluar dan lepas dari
belenggu komunitasnya. Mereka masuk komunitas dengan harus melakukan kekerasan
dan kriminalitas. Bila muncul kesadaran
untuk keluar dari anggota geng, baik atas dorongan pribadi maupun desakan
orangtua, mereka juga sulit keluar. Keluar berarti siap-siap menjadi incaran kekerasan anggota
komunitasnya. Begitu hukum alam yang berlaku dalam geng kejahatan, termasuk
yang dilakoni anak-anak remaja.
Sebenarnya sebelum pelaku
mengeksekusi perintah pikiran menjadi tindakan kriminalitas, dalam dirinya
pasti ada pertentangan di dalam dirinya. Antara nilai-nilai kebaikan yang
bersemayang dalam alam bawah sadar pelaku (kata hati) dengan doron- gan syahwat
kejahatan di pihak lain. Kata hati terse- but berupa: ini tindakan yang salah,
berdosa, akan dibenci masyarakat, bakal
dihukum bila tertangkap dan lainnya. Kata hati tersebut merupakan nilai-nilai
yang ditanamkan orangtua dan guru lewat apa yang disebut sebagai poses
pendidikan. Pendidikan tersebut diimplementasikan dalam bentuk pola asuh
orangtua di rumah dan pola dididik di sekolah.
Namun acap kali anak
kalah melawan tekanan te- man, tekanan kelompok dan gejolak yang berkecamuk
dalam dirinya. Ini terjadi karena nilai-nilai konstruktif (membangun) yang didapat anak selama ini
sedikit hingga tidak cukup untuk membentengi diri dari segala bentuk tekanan,
godaan, bujuk rayu dari teman dan kelompoknya. Ditambah lagi dalam perasaan
diri anak ada perasaan atau anggapan ditelantarkan orangtua dan keluarganya
yang memaksa dia sering ke jalan. Sementara hal-hal yang merusak (destruktif) anak
lebih kencang daya rusaknya.
Awal melakukan
penyimpangan dan perilaku kriminal tentu ada perasaan bersalah dan menyesal
bagi pelaku. Namun perasaan bersalah tersebut lama- lama berkurang dan
menghilang. Semakin lama yang tinggal perasaan biasa saja, bahkan muncul
kebanggaan melakukan kejahatan. Ditambah lagi bila teman dan anggota komunitas
memberikan pujian terhadap aksi kriminalitas yang dilakukan. Ia dinilai berjasa
untuk membesarkan kelompoknya, beranggapan
kelompok lain akan segan. Keberhasilan anggota geng dinilai seberapa banyak dan seberapa kejam ia melakukan kejahatan.
Munculnya perilaku
menyimpang, kenakalan remaja dan aksi kriminalitas yang dilakukan anak di luar
rumah tidak lepas dari rusaknya pola asuh orang- tua di rumah. Kerusakan pola
asuh tersebut bisa berupa anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang,
tidak adanya komunikasi yang baik antara anak dengan orangtua, tidak adanya
pengawasan dari orangtua, minimnya orangtua menanamkan nilai-nilai dan pen-
didikan agama, akhlak, moral dan lain sebagainya.
Bila dirunut dari hilir ke
hulu diketahui bahwa pangkal persoalan anak
termasuk persoalan geng mo- tor berada di dalam keluarga atau rumah
tangga. Apa yang dibutuhkan anak tidak ada di rumah. Dalam teori Maslow,
dijelaskan hirarki kebutuhan manusia. Dimu- lai dari kebutuhan dasar, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk
dihargai dan kebutuhan aktualisasi diri.
Seorang remaja memiliki kebutuhan
untuk diterima, dicintai, disayangi oleh orangtuanya dan butuh menjadi bagian
dalam sebuah keluarga. Namun sebagian anak tidak mendapatkan kebutuhan tersebut
sehingga ia mencarinya di luar rumah. Remaja juga memiliki kebutuhan dihargai
dan aktualisasi diri. Bila juga tidak terpenuhi di rumah, termasuk di sekolah
maka anak mencari di luar rumah lewat kelompok sebayanya. Remaja ingin diterima
baik oleh teman- temannya, tidak ingin ditolak, tidak mau dibenci, tidak suka
diejek dan lainnya. Ia ingin dihargai
teman- temannya dan bisa mengaktualisasikan diri dalam group tersebut. Remaja
ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan serta menjadi bagian dari sebuah
kelompok dan sebagainya.
Persoalannya adalah
kebanyakan orangtua tidak tahu akan kebutuhan anak-anaknya. Yang banyak disadari
para orangtua adalah kebutuhan dasar dan kebutuhan akan rasa aman. Sementara
kebutuhan lainnya cinderung diabaikan. Padahal anaknya berada pada usia
pancaroba dan masih mencari jati diri. Orang- tua juga sibuk bekerja memenuhi
tuntutan ekonomi sehingga banyak abai
terhadap kebutuhan tumbuh kembang anaknya.
Melihat kondisi saat ini,
upaya pencegahan yang dilakukan pihak kepolisian dengan razia dan penegakan
hukum bagi pelaku kriminalitas memang diperlukan. Namun akar dari persoalan
tesebut yaitu orangtua dan keluarga juga harus berperan. Saatnya orangtua
menyadari pentingnya pengasuhan yang layak dan memperhatikan kebutuhan anak di
rumah. Bila ini dilakukan, semakin sedikit remaja yang kabur dari rumah dan
terperangkap dalam kelompok sebaya yang berbau kriminal. (errysyahrial)
No comments:
Post a Comment