Monday, 27 June 2016
Sunday, 10 April 2016
Wednesday, 3 February 2016
PERJALANAN KOMISIONER KPPAD KEPRI 2010 - 2015
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga bisa menyelesaikan buku
Dinamika Perlindungan Anak di Kepulauan Riau: 2010-2015, ini dengan baik.
Diakhir masa tugasnya, komisioner KPPAD Kepri periode tahun 2010-2015 mencoba
kembali melakukan rekam jejak, penelaahan, evaluasi dan pelaporan terhadap
segala aktivitas perlindungan anak dalam waktu lima tahun tersebut.
Buku ini mengambarkanberbagai
dinamika perlindungan anak yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau dari tahun
2010 hingga 2015. Dinamika dan perubahan tersebut dipandang dari berbagai
aspek, mulai dari aspek permasalahan anak, aspek dukungan pemerintah, aspek
kinerja komisioner KPPAD, aspek peran serta masyarakat dan aspek lainnya. Dari
aspek anak menunjukkan bahwa permasalahan anak terus meningkat dari waktu ke
waktu dan semakin kompleks. Permasalahan anak terjadi mulai dari unit terkecil
dari bangsa yaitu keluarga yang juga merupakan bagian hulu dari permasalahan
anak. Permasalahan anak terjadi hingga ke lapisan berikutnya yaitu sekolah,
lingkungan tempat tinggal, masyarakat, dan seterusnya hingga bangsa dan negara.
Dinamika penguatan perlindungan anak
juga dilihat dari aspek dukungan Pemerintah mulai terlihat dalam bentuk
kebijakan mulai dari perundangan-undangan, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur
dan peraturan terkait perlindungan anak di kota/kabupaten di Kepri. Dukungan
Pemerintah Provinsi Kepri dalam perlindungan anak terlihat jelas dengan adanya
Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak, penguatan kelembagaan KPPAD Kepri dan
dukungan penganggaran, baik penganggaran untuk pemenuhan hak-hak anak secara
umum maupun penganggaran KPPAD Kepri.
Lima tahun
masa pengabdian komisioner KPPAD Kepri periode 2010-2015 telah mewarnai upaya
perlindungan anak di Provinsi Kepri. Ratusan jumlah kasus anak dan ribuan
jumlah anak yang ditangani komisioner telah memperkaya wawasan dan terus
menambah kapasitas komisioner untuk bekerja mengwujudkan perlindungan anak di
Provinsi Kepri dari waktu ke waktu. Seiring dengan itu, komitmen dan integritas
komisioner terus terasah sehingga tidak pernah redup dan goyah oleh kepentingan
lain.
Banyak
perubahan mendasar yang terjadi dalam dunia anak terutama menyangkut kebijakan
pemerintah dalam waktu yang relatif singkat, terutama dalam rentang waktu 5
tahun terakhir, 2010-2015. Diantaranya menyangkut perbaikan kehidupan anak di
lingkup nasional dengan lahirnya Undang-Undang No 11 tahun 2011 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang penanganan Anak Berhadapan Hukum
(ABH). Kemudian dilanjutkan dengan adanya revisi UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi UU No 35 Tahun 2014.
Di Provinsi
Kepri, periode tahun 2010-2015 dimulai dengan disahkannya Perda No 7 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak yang kemudian diikuti dengan
perubahan nama kelembagaan KPAID Kepri menjadi KPPAD Kepri. Kehadiran Perda
tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah Provinsi Kepri dalam perlindungan anak
dan secara eksplisit mempertegas bahwa urusan anak merupakan salah satu urusan
yang harus diselesaikan daerah sendiri. Perda tersebut juga sekaligus berdampak
pada penguatan kelembagaan KPPAD Kepri di lingkungan Pemprov Kepri maupun bagi
masyarakat Kepri.
Penguatan perlindungan anak di daerah
yang dilakukan oleh Pemprov Kepri tersebut di-copy paste hingga ke
tingkat kabupaten/kota di Kepri sehingga di penghujung 2015, hampir semua
kabupaten/kota di Kepri sudah punya Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak
dan nantinya semua daerah juga diharapkan mendirikan kelembagaan KPPAD.
Kepri ikut mewarnai penguatan
perlindungan anak di Indonesia dengan banyaknya pemerintah daerah lain juga
mencontoh Perda Anak di Kepri dan membuat Perda serupa di daerahnya.
Kelembagaan KPPAD Kepri ikut menjadi perhatian dan rujukan untuk memperkuat
kelembagaan KPAID yang sudah ada di provinsi atau kota/kabupaten atau membentuk
lembaga pengawasan dan perlindungan anak seperti KPPAD Kepri.
Capaian KPPAD Kepri tersebut tidak
bisa lepas dari dukungan Pemerintah Provinsi Kepri, kerja keras para komisioner
dan dukungan sekretariat KPPAD, serta kepercayaan dan dukungan masyarakat.
terhadap KPPAD. Pemerintah Provinsi Kepri sudah mengeluarkan kebijakan dan
anggaran perlindungan anak. Komisioner KPPAD Kepri periode 2010-2015 dengan
kapasitas yang dimiliki, integritas dan komitmen yang tinggi sudah bekerja
keras untuk mengwujudkan perlindungan anak di Kepri. Sementara masyarakat sudah
merasakan hasil kinerja KPPAD Kepri selama ini dan terus memiliki harapan yang
tinggi terhadap lembaga ini.
Banyaknya rekam jejak yang sudah ditorehkan KPPAD Kepri
dalam mengwujudkan perlindungan anak di Provinsi Kepri perlu direfleksi ulang
dalam buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan bisa menambah pemahaman kita
tentang permasalahan anak di Provinsi Kepri dan upaya perlindungan yang sudah
dilakukan. Buku ini juga bermanfaat bagi KPAID lainnya di Indonesia yang
tengah berjuang memperkuat kelembagannya. Masih banyak PR dan tugas-tugas
perlindungan anak yang harus dikerjakan menuju Provinsi Kepri dan Indonesia
Ramah Anak. Semoga cita-cita mulia tersebut segera terwujud. Amin.
Sunday, 31 January 2016
Opini: Angeline dan Momentum Perubahan Dunia Anak
Opini
Angeline dan Momentum
Perubahan Dunia Anak
Oleh Erry Syahrial
Perubahan Dunia Anak
Oleh Erry Syahrial
Dunia anak Indonesia kembali
tergonjang dengan kematian tragis yang dialami Angeline, bocah berusia 8 tahun
yang tinggal bersama keluarga angkatnya di Bali. Sejak dilaporkan hilang hingga
ditemukan jadi mayat, dan terus berlanjut pada pengungkapan kasus kematiannya
menyita perhatian masyarakat di seluruh Tanah Air. Kini penyidik sudah
menetapkan ibu asuhnya, Margriet Christina Megawe, sebagai tersangka
pembunuhan.
Gadis belia tersebut ditemukan ketika sudah
menjadi mayat di belakang rumah orangtua angkatnya. Ditemukan dalam keadaan tragis,
hasil otopsi menujunjukkan mayatnya penuh luka penyiksaan, sodokan api rokok
dan lainnya.
Serentetan penganiayaan dialami oleh bocah
cantik tersebut hari demi hari sebelum meregang nyawa ditangan orang yang
mestinya melindunginya. Gadis kecil itu bertaruh nyawa di dalam keluarga yang
tidak peduli, sehingga ibu angkatnya juga ditetapkan sebagai tersangka kasus
penelantaran terhadap Angeline.
Angeline sudah pergi meninggalkan dunia yang tidak layak
dan tidak adil baginya. Air mata publik tumpah menangis mengetahui penderitaan
yang dialami Angeline. Mestinya ia hidup, tumbuh dan dibesarkan dengan cinta
dan kasih sayang seperti jutaan anak lainnya. Semestinya, ia menghabiskan
waktunya untuk bermain bersama teman-temannya dan belajar, bukan untuk bekerja
di rumah dalam tekanan dan siksaan.
Kalau ia bisa memilih takdir, tentu ia ingin kem bali
pada keluarga kandungnya, kembali ke tangan orangtua yang melahirkannya.
Meskipun miskin, tentu kasih sayang orangtua jauh lebih beharga dan sangat
diinginkan anak. Untuk apa hidup di tengah keluarga angkat yang kaya kalau
kehadirannya tidak diinginkan. Untuk apa dapat warisan banyak, ketika harta
tersebut menyimpan bencana. Justeru yang ada hanya kehiduan neraka bagi anak.
Angeline
adalah anak kecil yang tidak bisa berbuat apa untuk menentukan nasibnya
sendiri. Nasibnya ditentukan oleh orang-orang dewasa yang ada disekitarnya.
Bagaimana orang-orang yang ada di dekatnya memperlakunnya sehari-hari. Dunia
anak adalah dunia yang diciptakan orang dewasa. Akhirnya, keinginan Angeline
kembali ke pangkuan ibu kandung dan keluarga besarnya terkabul, namun dalam
keadaan tidak bernyawa.
Angeline
memang sudah pergi dengan penuh luka dan derita. Jangan jadikan kematiannya
sia-sia, tanpa kita dapat pelajaran yang berharga. Kematian Angeline dan
kasus-kasus anak yang besar lainnya adalah momentum perubahan dunia anak
Indonesia ke arah yang lebih baik. Kematiannya harusnya menjadi renungan dan
pelajaran berharga bagi banyak pihak, mulai dari orangtua, masyarakat, aktivis
perlindungan anak hingga pemerintah. Angeline adalah secercah cahaya lilin
pada sebagian anak Indonesia yang tidak beruntung.
Ada sesuatu
berharga di balik suatu peristiwa besar. Peristiwa bisa mendorong perubahan
besar. Seberapa besar perubahan tersebut tergantung pada seberapa besar
perhatian dan tekanan publik, bagaimana sorotan media massa, bagaimana kondisi
realitas kebijakan yang berlum berpihak dan juga tergantung seberapa besar
harapan masyarakat banyak. Semua itu menjadi tekanan kepada pemerintah dan
stakeholder yang ada untuk membuat perubahan kebijakan yang lebih proanak.
Beberapa mega kasus anak juga pernah terjadi di Indonesia,
menyita perhatian publik dan stakeholder anak dan pemerintah. Bahkan beberapa
kasus yang terjadi tersebut menjadi pintu masuk, pendorong percepatan perubahan
berbagai kebijakan terkait anak di Indonesia sehingga lahirlah UU, revisi UU,
Instruksi Presiden dan lainnya. Berikut ini adalah beberapa mega kasus anak
yang menjadi momentum perubahan dunia anak di Indonesia.
Kasus JIS Mendorong GN-AKSA
Masih ingat kasus sodomi dan
kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Indonesia
bahkan dunia heboh dengan kasus sodomi yang menimpa pelajar di sekolah bertaraf
internasional tersebut. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak tersebut adalah
guru dan cleaning service di sekolah tersebut. Para pelaku sudah divonis
bersalah oleh pengadilan dan saat ini ada upaya banding dari pelaku di
pengadilan tinggi Jakarta karena tidak terima tingginya hukuman yan diterima.
Salah satu pelaku, memilih bunuh diri dalam penjara saat proses hukum belum
sampai ke persidangan.
Belum reda kasus JIS, serentetan
peristiwa kekerasan seksual di berbagai daerah mencuat ke permukaan, seperti
kasus sodomi yang dilakukan Emon di Garut terhadap puluhan anak remaja, kasus
penculikan dan pemerkosaan terhadap pelajar MTsN di Payakumbuh. Kepri juga
tidak lupa dari terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak baik yang
terjadi dalam lingkungan rumah tangga, lingkungan sekolah dan masyarakat.
Diantaranya kasus pelecehan seksual oleh Kepsek SMP terhadap siswi di salah
satu SMP di Batamcentre, kasus sodomi 9 anak SD di Tambelan, Bintan oleh
pelatih sepakbolanya dan masih banyak kasus kejahatan seksual lainnya.
Berbagai kejahatan seksual terhadap anak tersebut menjadi
perhatian serius Soesilo Bambang Yudhoyono, selaku Presiden RI waktu itu
bersama kementerian terkait. Akhirnya, pada 11 juni 2014, lahirlah Instruksi
Presiden No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual
terhadap Anak. Lewat Inpres ini, Presiden mengintruksikan ke berbagai
kementerian, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga gubernur dan walikota/bupati
di seluruh Indonesia untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan
kejahatan seksual terhadap anak.
Kasus JIS dan
merebaknya kekerasal seksual terhadap anak juga mendorong direvisinya UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindugan Anak sehingga lahirlah UU No 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Dalam UU yang lama, hukuman terhadap pelaku
kejahatan seksual dan pencabulan terhadap anak sangat ringan sehingga tidak
memberikan efek jera bagi pelaku. Pasal yang ikut direvisi adalah dinaikkan
ancaman hukuman minimal bagi penjahat kelamin dari minimal 3 tahun menjadi
minimal 5 tahun. Hasil revisi disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 dan
langsung diberlakukan.
Kasus Raju
Dorong Lahirnya UU SPPA
Raju alias
Muhammad Azuar adalah pelajar SDN di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang
dijadikan tersangka dan ditahan gara-gara berkelahi dengan temannya,
Armansyah. Raju dilaporkan ke polisi orangtua Raju tidak mau memberi biaya
berobat atas sakit bagian perut yang dialami Armasyah. Ada tiga versi tanggal
kelahiran Raju. Dalam BAP, saat kejadian perkara Raju berumur 8 tahun tiga
bulan. Sedangkan, Raju dalam Kartu Keluarga yang dikeluarkan pada 4 Februari
2004 tercatat lahir pada 9 Desember 1997, sehingga saat kejadian perkara ia
baru berumur 7 tahun 8 bulan. Polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupaya
mencari bukti baru dari buku raport Raju yang dikeluarkan sekolahnya dinyatakan
bahwa anak itu lahir pada 5 Desember 1996. Anak yang belum lagi berusia 9 tahun
ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya dengan dalih
mengikuti prosedur.
Ada juga AAL (15), siswa SMK di Palu Sulawesi Tengah yang
dilaporkan dan diproses secara hukum gara-gara mencuri sepasang sandal milik
polisi, Brigadir Ahmad Rusdi Harapan. Polisi tersebut geram sandalnya hilang
sehingga memilih memenjarakan Aal. Padahal, kerugian yang dialami korban
hanyalah sedikit, namun akibatnya anak harus dihukum sehingga kehilangan
pendidikannya.
Kasus Raju di Medan dan kasus sandal
jepit sudah mendorong digantinya UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menjadi UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU Pengadilan
Anak dinilai mengkriminalisasi anak dibawah umur serta tidak mencerminkan
adanya perlindungan anak bagi anak yang berhadapan hukum (ABH). ABH tidak
terlindungi hak-haknya, dan setiap anak yang melakukan pelanggaran pidana kebanyakan
berlanjut pemidanaan dan pemenjaraan. Usia pertanggung hukum terhadap anak juga
sangat tidak manusiawi dan layak untuk anak, dimana anak 8 tahun ke atas boleh
diproes secara hukum dan dilakukan penahanan.
UU Pengadilan Anak yang lebih dahulu
lahir ketimbang UU Perlindungan Anak menyebabkan aspek perlindungan anak tidak
tercermin dalam UU yang mengatur tata cara pidana bagi ABH tersebut. Munculnya
kasus Raju, AAL dan beberapa kasus anak yang melakukan pidana menjadi momentum
mendorong terhadap revisi UU Pengadilan Anak. Hasilnya, tanggal 31 Juli 2012
lahirlah UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang mulai berlaku 2 tahun kemudian,
yaitu 31 Juli 2014. Kehadiran UU baru ini lebih ramah untuk menangani perkara
anak yang melakukan tindakan pidana. UU SPPA ini telah menyelamatkan ribuan
anak Indonesia dari pemenjaraan dan saksi pidana. Ini disebabkan karena telah
dinaikkannya usia pertanggungjawab hukum bagi anak dari usia 8 tahun menjadi
minimal 12 tahun, serta adanya kewajiban APH (penyidik, jaksa, dan hakim) untuk
melakukan restorative justice dan diversi atau mencari alternatif
hukuman di luar penjara atau peradilan formal.
Pasca Kasus Angeline
Kembali ke kasus Angeline. Bagi pemerintah, kasus Angeline
bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi dan perbaikan beberapa
kebijakan anak dan implementasinya di tengah masyarakat. Diantara adalah
implementasi yang ketat tentang tata cara adopsi atau pengangkatan anak,
termasuk oleh WNA dan penegakkan hukum kasus penelantaran dan eksploitasi
anak.
Sebenarnya
aturan soal pengangkatan anak ini merupakan kebijakan yang baru keluar dan
diberlakukan. Selain UU Pelindungan Anak, pengangkatan anak atau adopsi diatur
dalam Pasal 39 UU No 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, serta Peraturan Mensos No 110/2009
tentang persyaratan pengangkatan anak. Cuma permasalahannya adalah kurangnya
sosialisasi peraturan ke masyarakat dan tidak adanya proses penegakkan hukum
terhadap sipelanggar. Aparat tidak bisa bertindak karena tidak adanya laporan
masyarakat. Sementara masyarakat sendiri banyak yang tidak paham, ada yang tahu
memilih diam.
Kasus Angeline bisa memperkuat
penegakkan hukum terhadap penelantaran anak oleh siapa saja, baik orangtua
kandung, orangtua asuh/angkat, wali atau siapa saja yang melakukan kelalaian
dan kesalahan dalam pengasuhan anak sehingga anak menderita atau bahkan
meninggal karena tidak terpenuhi kebutuhannya atau perlindungan secara fisik,
psikis dan sosial.
Sebelumnya, penelantaran terhadap 5
anak kandung oleh orangtua kandung yang menghebohkan di Cibubur juga diproses
hukum. Dua kasus penelantaran ini bisa menjadi acuan kedepan bagi penyidik di
berbagai daerah untuk menjerat pelaku penelantaan. Selama ini, aparat penegak
hukum masih ‘’gamang’’ memproses secara hukum kasus penelantaran anak.
Setiap datang ombak maka tepian pantai pun berubah.
Perubahan bentuk dan kultur pantai berubah sesuai dengan terpaan ombak yang datang.
Semakin besar ombak dan gelombang yang datang semakin besar pula perubahan yang
nampak di pantai. Kematian Angeline adalah arus dan gelombang itu. Kematiannya
merupakan satu dari sekian peristiwa besar pada anak yang mengubah dan
memperbaiki dunia anak Indonesia yang lebih baik.
DUNIA ANAK, DUNIA YANG CEPAT BERUBAH
A.Dinamika Permasalahan Anak
Sepanjang
tahun 2010-2015, permasalahan anak mengalami dinamika yang sangat tinggi dan
perubahan berlangsung cepat di Indonesia. Dari waktu ke waktu, permasalahan
anak terus meningkat, berlangsung masif dan hampir terjadi di semua daerah,
termasuk di Provinsi Kepulauan Riau. Peningkatan kasus kekerasan pada anak
tidak hanya meningkat secara kuantitas, tapi juga meningat secara kualitas.
Bentuk-bentuk
kekerasan pada anak yang tidak pernah terjadi sebelumnya, pada rentang waktu 5
tahun terakhir, 2010-2015, banyak kasus kekerasan pada anak yang membuat publik
tidak percaya. Masyarakat bertanya-tanya kenapa kasus kekerasan seperti itu
terjadi pada anak. Tidak percaya dengan modusnya dan pelakunya karena sebagian
besar dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Publik sering berguman: ’Kok
bisa ya? Kenapa terjadi?, Kasihan..! dan berbagai reaksi lainnya menyatakan
keterkejutannya atau rasa empatinya pada korban.
Berbagai bentuk kekerasan pada anak
yang membelalakan mata masyarakat juga terjadi di Provinsi Kepri. Tigas kasus
pembunuhan di Batam menimpa siswi dan gadis remaja yang diincar pelaku di
jalanan sepanjang tahun 2015, kasus pembakaran seorang remaja putri oleh
pacarnya gara-gara cemburu buta yang juga terjadi di Batam. Di Tanjungpinang
terjadi kasus penculikan siswi SD dari sekolahnya kemudian dicabuli dalam hutan,
kasus pencabulan remaja tuna rungu oleh pacarnya, pencabulan siswi tuna netra
oleh gurunya dan lainnya. Peristiwa penyekapan, penganiayaan dan kekerasan
fisik lainnya keran menimpa anak. Pada kasus tertentu kekerasan fisik juga
diserta kekerasan seksual dan pembunuhan seperti yang menimpa siswi di Batam.
Kasus kekerasan seksual di dalam
rumah tangga atau hubungan sedarah (incest) juga sering terjadi di
beberapa daerah di Kennya melahirkan anak. Muncul
juga kasus pelajar SLTP hamil dan membuang bayi yang baru dilahirkan dalam
keadaan meninggal, kasus ibu kandung dan anak kandung berusia remaja sama-sama
bekerja sebagai PSK di lokalisasi. Si anak kandung hamil dan melahirkan,
kemudian cucu yang lahir tersebut dijual kepada orang lain sehingga sinenek
dari korban dikenakan kasus trafiking.
Pendidikan
dan guru ikut menambah daftar pelaku kekerasan fisik dan seksual pada anak.
Misalnya kasus pencabulan yang dilakukan oleh Kepsek SMPN 28 Batam terhadap
belasan siswinya. Kasus sodomi dan pelecehan seksual juga yang dilakukan guru
SD swasta, guru ngaji, pelatih sepak bola, instruktur musik terhadap siswa,
santri dan anak bimbingannya. Tenaga non pendidik di sekolah seperti sekuriti,
pemilik yayasan, dan cleaning service ikut menjadi pelaku pencabulan terhadap
anak.
Sementara
kekerasan fisik terjadi dari lingkungan rumah tangga sampai anak luka berat dan
meninggal. Pelakunya adalah orangtua kandung, ibunya atau bapaknya, atau bisa
kedua-duanya, ibu tirinya dan lainnya. Di sekolah anak belum tentu aman,
kekerasan fisik masih rentan terjadi menimpa anak seperti siswa ditampar guru,
sejumlah siswa dilakban mulutnya oleh guru sebagai bentuk hukuman. Kekerasan
psikis juga merusak mental atau psikologis anak. Bahkan akibat bully di
sekolah dan di rumah, beberapa anak di Kepri juga pernah melakukan aksi bunuh
diri.
Melihat
kejadian demi kejadian tersebut menunjukan bahwa begitu rentannya anak menjadi
korban kekerasan fisik dan seksual, mulai dari rumah hingga lingkungan sekolah.
Dua tempat yang bisa dikatakan harus aman dan ramah terhadap anak, ternyata menjadi
locus terjadinya kejahatan pada anak. Tentunya kerentanan terhadap anak semakin
bertambah bila berada di lingkungan lain seperti lingkungan masyarakat,
jalanan, dan tempat-tempat rawan lainnya yang minim pengawasan.
Pengasuhan alternatif bagi anak yaitu
panti asuhan atau yang kini disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)
ternyata tidak luput dari kekerasan terhadap anak. Di penghujung tahun 2015,
dua LKSA di Batam terungkap melakukan kejahatan terhadap anak didiknya sehingga
pelakunya yang merupakan ketua yayasan ditangkap polisi. Setelah didalami,
anak-anak asuh di LKSA Rizki Khairunnisa di Batumerah Batam mendapatkan
kekerasan fisik, pelecehan seksual, penelantaran anak dan pemilik yayasan juga
menghilangkan asul usul anak dan pidana lainnya. Sementara di panti asuhan
lainnya, terjadi pelecehan seksual dan pencabulan yang dilakukan pasangan
suami-istri pengelola panti. Padahal tahun 2014 sebelumnya, Batam juga
dihebohkan dengan kasus kekerasan fisik di panti asuhan Ya Bunayya yang
dilakukan ketua LKSA terhadap anak didiknya sehingga pelaku dihukum.
Demikian yang terjadi di Kabupaten
Bintan. Kasus pencabulan terhadap anak meningkat sepanjang tahun. Pelakunya
merupakan orang terdekat anak seperti paman, kakak ipar, pacar. Bahkan ada satu
pulau di Bintan, belasan anak saling mencabuli sesama anak setelah menonton
video porno dari HP. Korban pencabulan menjadi korban ketika di sekolah
dikeluarkan secara sepihak oleh sekolah dengan alasan nama baik sekolah. Di penghujung tahun 2015, tokoh
masyarakat Anambas yang sudah tua tertangkap basah mencabuli seorang ABG asal
Anambas di salah satu hotel di Tanjungpinang. Korban bersama temannya dibujuk
rayu liburan akhir tahun ke Tanjungpinang dan berangkat dari Anambas bersama-sama
dengan kapal. Sampai di Tanjungpinang korban diberdaya dan direcokin dengan
minuman keras sebelum dicabuli. Masih di Anambas, oknum PNS menghamili siswi
SMP. Pada kejadian Daerah lain di Kepriseperti Lingga, Karimun dan Natuna tidak
luput dari berbagai kasus anak yang menghebohkan.
Permasalahan anak yang berkembang di
tengah masyarakat antara lain maraknya kekerasan kepada anak, baik kekerasan
fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual. Mulai banyak juga pelaku
kekerasan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak sendiri, baik
kepada sesama anak maupun kepada orang dewasa. Ada remaja yang melakukan
pembunuhan dan ada yang turut serta melakukan pembunuhan, baik karena sengaja
bahkan merencakan pembunuhan, atau hanya karena berada dalam situasi yang
salah.
Maraknya
muncul geng motor membuat semakin banyak anak terperangkap dalam dunia
kejahatan. Banyak terbentuk kelompok penjahat baru beranggotakan remaja
tanggung, gabungan anak sekolahan dan putus sekolah. Pimpinan biasanya adalah
yang berusia tertua, sudah lewat usia anak, dan sudah berpengalaman melakukan
kejahatan jalanan. Penjahat kemarin sore ini digembleng dulu sebelum beraksi
sehingga tidak takut lagi menghadang pengendara lain yang lewat di jalanan. Pernah
segerombolan remaja menghadang pengendara di jalanan korban kemudian digiring
ke tempat sepi. Tujuannya ingin meminta uang bensin dan menguasai HP yang
dimiliki korban. Dari aksi tersebut, masing-masing pelaku dapat bagian Rp50
ribu. Setelah tertangkap, ternyata pelaku berasal dari keluarga mampu. Siibu
menyesali perilaku anak yang ikut-ikutan. Padahal uang jajannya sehari sebesar
Rp150 ribu. Sebenarnya ia tinggal minta uang sama orangtuanya, namun karena
ikutan-ikutan teman jadilah ia pelaku kejahatan. Pernah juga seorang ABH yang
dipanggil Kancil karena berbadan kecil, menangis tersedu-sedu di ruang sidang
agar tidak dihukum hakim. Perannya sebagai pembawa motor dalam aksi curas
mengantarkan pelajar SMP kelas 2 itu ke balik jeruji besi.
Dalam
kejadian yang ektrem, remaja tanggung tidak segan-segan melakukan aksi
kriminalitas bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena hal-hal yang sepele.
Melakukan perampokan dengan kekerasan hingga korban meninggal. Korban yang
dirampok terlebih dahulu dikenali di jejaring sosial, kemudian dipacari dan
dijadikan sasaran korban kejahatan. Ini dilakukan pelaku hanya semata-mata
ingin diterima menjadi anggota geng motor dan menuruti perintah ketua geng
motor. Pelaku akhirnya dihukum berat dan kesempatannya untuk menikmati hidup
bebas dan mengejar impian masa depan yang indah menjadi hilang. Masa depan
menjadi suram karena berada dalam jeruji besi dalam waktu yang cukup lama.
Akibat
kekerasan fisik, psikis dan seksual, banyak anak jadi korban. Kekerasan mulai
terjadi dari dalam lingkungan rumah tangga, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat. Sementara, kekerasan yang dilakukan anak membuatnya terpaksa
berurusan dengan hukum sehingga disebut Anak Berhadapan Hukum (ABH). Kategori
tindak pidana yang dilakukan antara lain pencurian biasa hingga pencurian
dengan kekerasan dan pemberatan. Diantaranya ada yang menjadi tersangka pelaku
pencabulan terhadap korbannya yang berusia anak, pelaku kekerasan seperti
perkelahian.
Dinamika permasalahan anak di
Kepulauan Riau mencakup banyaknya kasus pencabulan yang dialami anak oleh
pelaku dewasa, maraknya kekerasan atau tindak pidana yang dilakukan anak
berhadapan hukum (ABH) dan tingginya kasus rebutan hak asuh, penelantaran dan
lainnya. Dinamika permasalahan anak tersebut membutuhkan penanganan yang
serius, mulai dari penegakkan hukum bagi pelaku dewasa, upaya pencegahan dengan
sosialisasi, upaya rehabilitasi dan reintegrasi serta meningkatkan peran serta
masyarakat untuk ambil bagian dalam perlindungan anak.
Berikut ini merupakan gambaran
dinamika peningkatan permasalahan atau kasus anak di Provinsi Kepulauan Riau
dalam waktu lima tahun, dari tahun 2010 sampai 2015:
Tahun Jumlah Kasus Jumlah Anak
Tahun 2011 110 Kasus 142 Anak
Tahun 2012 143 Kasus 199 Anak
Tahun 2013 175 Kasus 281 Anak
Tahun 2014 226 Kasus 352 Anak
Tahun 2015 230 Kasus 360 Anak
Total 884 Kasus 1.334 Anak Catatan:
Jumlah kasus anak tersebut belum
termasuk yang ditangani oleh lembaga lain yang tidak dilaporkan ke KPPAD
Kepri, dan tidak termasuk data kasus KPPAD di dua kabupaten yang sudah
terbentuk di Kepri.
B. Dinamika Kebijakan Anak
Berbagai dinamika permasalahan anak
yang terjadi di seluruh Indonesia ikut berperan dalam terjadinya dinamika
perubahan dalam hal kebijakan anak yang diambil Pemerintah Republik Indonesia.
Demikian juga permasalahan anak yang terjadi di Kepri ikut mewarnai kebijakan
yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Kepri, Pemko dan Pemkab di Kepulauan
Riau.
Perubahan tersebut sebagai bentuk
respon pemerintah menyikapi permasalahan yang terjadi sehingga pemerintah tetap
berada dalam bingkai responsif anak. Pemerintah tidak mau dicap abai terhadap
permasalahan anak, meskipun kadang-kadang kebijakan yang diambil terlambat atau
tidak diimplementasikan dengan baik.
Di level
nasional, ada dua produk hukum yang menjadi mainstream perlindungan anak
berubah mengikuti dinamika permasalahan anak. Kedua produk hukum tersebut
adalah revisi Undang-Undang No 23 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang No 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak dan berlakunya UU No 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menggusur keberadaan UU No 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai tidak lagi responsif anak.
Sejarah juga
mencatat bahwa sepanjang tahun 2010-2015, banyak kasus kekerasan seksual
terhadap anak yang hampir merata terjadi di seluruh daerah. Banyaknya
kekerasan seksual salah satunya dipicu masih rendahnya hukuman terhadap pelaku
pencabulan dan kekerasan seksual terhadap anak sehingga tidak menimbulkan efek
jera. Sanksi pidana terhadap pencabul masih ringan yaitu minimal 3 tahun dan
maksimal 15 tahun. Bahkan pelaku pencabulan tersebut kebanyakan orang dekat dan
seharusnya melindungi anak termasuk keluarga dan orangtua sendiri.
Selain
rendahnya sanksi pidana terhadap predator anak, kasus kekerasan fisik terhadap
anak, aborsi, penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak juga meningkat.
Sementara itu tidak semua kondisi anak yang membutuhkan perlindungan belum
dilirik oleh pemerintah. Semua itu menjadi pendorong bagi KPAI, KPAID di
berbagai daerah dan termasuk KPPAD Kepri serta aktivis perlindungan anak
lainnya untuk mendorong revisi terhadap UU No 23 Tahun 2002.
Dorongan tersebut berhasil dengan
dibahasnya revisi UU tersebut di Panja Perlindungan Anak Komisi 8 DPR RI tahun
2014. KPPAD Kepri juga ikut sebagai pihak yang memberikan pandangan terkait
revisi UU Perlindungan Anak dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Panja
Perlindungan Anak. Meski belum mengakomodir semua aspirasi yang disampaikan
oleh KPAI, KPPAD Kepri dan stakeholder anak lainnya di Indonesia, akhirnya
tanggal 17 Oktober 2014, UU hasil revisi tersebut disahkan menjadi UU No 35
tahun 2014.
Ada banyak pasal yang direvisi dalam
UU Perlindungan Anak, antara lain bertambahnya bentuk-bentuk perlindungan
khusus pada anak dari 10 item menjadi 15 item anak yang mendapatkan
perlindungan khusus. Selain itu, bertambahnya ancaman hukuman bagi pelaku
kejahatan seksual atau pencabuan terhadap anak, dari hukuman minimal 3 tahun
naik menjadi hukuman minimal 5 tahun serta adanya tambahan pemberatan 1/3 dari
ancaman hukuman bila pelakunya adalah orang yang mestinya melindungi anak.
Hukuman denda juga bertambah, sementara hukuman maksimalnya masih sama yaitu 15
tahun. Pasal lain yaitu yang dimasukkan dalam revisi UU Perlindungan Anak
adalah dimasukkannya larangan dan ancaman pidana bagi pelaku aborsi, pelaku
penelantaran anak atau menempatkan anak atau melibatkan dalam posisi perlakuan
salah.
Banyaknya
anak yang dipidana, dikurung dalam penjara tanpa pembinaan yang bagus serta dan
mudahnya anak masuk penjara gara-gara kasus sepele menjadi pintu masuk
terhadap perubahan Undang-Undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Keberadaan UU ini belum merespon perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak
yang berhadapan hukum karena lahir sebelum adanya UU No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sehingga kurang memiliki semangat perlindungan anak dan
pemenuhan hak-hak anak.
Akhirnya pada
tanggal 31 Juli 2012 Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) disahkan dan mulai diberlakukan 2 tahun kemudian. UU SPPA
ini mengantikan UU sebelumnya yang sama-sama mengatur penanganan Anak Berhadapan
Hukum (ABH), yaitu UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU Pengadilan
Anak dinilai tidak relevan lagi dalam menangani anak yang melakukan tindak
pidana yang jumlahnya semakin meningkat.
UU No 3 Tahun
1997 masih mengakomodir semangat retributive justice atau hukuman
pembalasan bagi ABH. Akibatnya ABH banyak yang masuk penjara dan upaya
rehabilitasi anak tidak berjalan. Sementara UU SPPA mengusung semangat restorative
justice atau hukuman yang memperbaiki keadaan ABH sehingga anak yang
melakukan tidak pidana dijauhkan dari pemenjaraan lewat upaya diversi dan
rehabilitasi di luar penjara.
Banyak
perubahan yang terjadi dalam proses peradilan bagi ABH. Semangat diversi atau
mengalihkan proses hukum anak dari peradilan formal ke peradilan nonformal,
dilakukan secara bertingkat mulai dari penyidik (polisi), penuntut (jaksa) dan
hakim (pengadilan). Ada kewajiban bagi aparat penegak hukum (APH) untuk
melakukan diverisi bagi ABH yang memenuhi syarat perkaranya untuk ditempuh
upaya diverisi. Bahkan ada ancaman pidana bagi penyidik dan jaksa yang melalaikan
kewajibannya untuk melakukan diversi.
Batasan usia pertanggungjawaban hukum
anak juga naik. Anak yang bisa masuk dalam proses peradilan SPPA 12 tahun ke
atas sehingga anak yang melakukan tindakan piadna berusia di bawah 12 tahun
tidak bisa diproses secara hukum. ABH yang bisa ditahan berusia 14 tahun ke
atas. ABH yang berusia dari 12 tahun – 14 tahun, bisa diproses secara hukum,
tapi tidak bisa dilakukan penahanan. Masa penahanan dan waktu penanganan
perkara anak juga semakin singkat sehingga anak tidak terlalu ditahan di kantor
polisi atau di rutan. Proses hukum bagi ABH dilakukan secepatnya sehingga
otomatis menjadi prioritas penanganan dibanding kasus dewasa.
Maraknya kasus kekerasan seksual
terhadap anak di seluruh tanah air juga mendesak pemerintah mengeluarkan
perundang-undangan lainnya yaitu dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres). Pada
tahun 2014 juga, Presiden mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan
Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA). Presiden mendesak
semua jajaran pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah, mulai dari Mentri
hingga Gubernur dan Walikota/Bupati, serta melibatkan peran serta masyarakat
untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap
anak.
Masih banyak lagi dinamika perubahan
pada permasalahan anak sehubungan perubahan UU dan kebijakan yang semakin responsif
anak. Dalam rentang waktu 2010-2015, kebijakan proanak dibuat, mulai diimplementasikan
dan terus semakin menguat mengisi sendi-sendi birokrasi pemerintahan yang
dituntut responsif anak. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sangat merespon
pemenuhan hak-hak anak dengan memperhatikan tuntutan global yaitu Konvensi Hak
Anak (KHA), dan tuntutan nasional yaitu UU Perlindungan Anak yang diakui dan
menjamin terpenuhinya 31 lebih hak anak.
C. Dari yang Abai
hingga yang Sepenuh Hati
Lingkungan sekitar anak yang sangat
dinamis dan berubah dengan cepat berdampak sangat luar biasa terhadap banyak
permasalahan dan kasus anak yang terjadi. Munculnya permasalahan dan kasus anak
tidak bisa dilepaskan dari cara pandang dan reaksi atau respon dari pihak yang
bertanggung jawab terhadap anak. Pihak dalam hal ini mulai dari lingkup yang
kecil yaitu orangtua dan keluarga, kemudian tetangga, hingga guru atau pendidik
di sekolah dan lembaga pendidikan, masyarakat luas, hingga pemerintah.
Cara pandang
yang salah atau kurang tepat terhadap anak akan memicu terjadi permasalahan
anak atau penanganan yang dilakukan tidak akan tetap sasaran. Cara pandang
yang salah akan memunculkan respon yang salah atau tidak tetap sasaran. Cara
pandang dan respon yang salah terhadap korban misalnya akan membuat korban
tidak tertangani dengan baik, bahkan korban bisa menjadi korban lagi atau
mengalami viktimisasi. Cara pandang dan respon yang diberikan oleh pihak yang
bertanggung jawab terhadap anak anak harus peka, sesuai dengan apa yang dirasakan,
dialami dan diinginkan anak.
Di sinilah
para pemangku kepentingan terhadap anak harus menerapkan salah satu prinsip
perlindungan anak yaitu penghargaan terhadap pendapat anak. Agar respon yang
diberikan pemangku kepentingan dalam bentuk upaya perlindungan anak tidak salah
maka pendapat anak harus ditanyai. Hal ini dilakukan dalam membuat kebijakan
terhadap anak, termasuk dalam penanganan terhadap anak korban, anak pelaku
tindak pidana, dan lain sebagainya. Mereka harus diassesmen sebaik-baiknya
untuk melihat sejauh mana kebutuhannya dan keinginannya terhadap persoalan yang
dihadapi.
Kurang
pekanya stakeholder anak dalam menyikapi segala perubahan yang terjadi dan
berdampak buruk pada anak juga menjadi penyumbang permasalahan anak di tengah
masyarakat. Beragam tipe respon yang diberikan stakeholder anak terkait dengan
perubahan yang terjadi. Pertama, ada yang sangat responsif dengan perubahan
yang terjadi sehingga melakukan upaya protektif terhadap anak. Kedua, kurang
responsif dengan dengan perubahan yang terjadi sehingga juga lambat dalam
melakukan upaya proteksi terhadap anak. Ketiga, tidak responsif dengan segala
yang terjadi pada anak sehingga tidak melakukan apapun upaya perlindungan dan
pencegahan.
Bila kita
pilah-pilah stakeholder itu menjadi kelompok orangtua, masyarakat dan
pemerintah didapatkan gambaran secara umum bahwa disparitas keberagaman
perilaku responsif anak terdapat pada ketiga kelompok tersebut. Ada orangtua
yang sangat responsif terhadap anak, ada orangtua yang kurang resposif dan ada
orangtua yang tidak responsif anak sama sekali. Hal tersebut juga terjadi pada
masyarakat dan pemerintah.
Kebanyakan anak yang menjadi korban
tindak pidana maupun anak pelaku tindak pidana atau anak bermasalah lainnya
berasal dari kelompok orangtua, masyarakat dan pemerintah yang tidak responsif
terhadap anak. Mereka rentan menjadi anak bermasalah karena hidup di tengah
situasi yang rentan yaitu orang-orang yang tidak peduli dan tidak memberikan
perlindungan yang baik. Sementara anak yang hidup dalam lingkungan yang
responsif anak dan orang-orang yang memberikan perlindungan maka ia akan
terlindungi dengan baik.
Sikap tidak responsif anak
menyebabkan orangtua, masyarakat dan pemerintah tidak peka terhadap berbagai
persoalan anak dan hal-hal yang memicunya. Persoalan anak hanya dipandang dari
sisi orang dewasa, tidak melihat dari aspek anak, apalagi sampai melibatkan
anak. Padahal pendapat anak perlu didengarkan dalam membuat keputusan dan dalam
menyelesaikan permasalahan. Penyelesaian masalah seperti ini tentu tidak baik
bagi anak karena anak bisa saja tetap menjadi korban atau permasalahan terus
berulang.
Sikap tidak responsif membuat
orangtua, masyarakat dan pemangku kepentigan tidak protektif terhadap hal-hal
yang merusak anak mental dan masa depan anak. Tidak protektif berarti
memberikan kebebasan kepada anak untuk menentukan pilihan sendiri dan berarti
membebaskan apa yang terjadi menimpa anak. Ini juga tidak baik bagi anak karena
anak merupakan orang yang belum dewasa secara fisik, psikis, seksual dan
intelektual. Keadaannya yang labil membuat anak gampang dipengaruhi, dibujuk
rayu, didoktrin, disuruh atau dipaksa tanpa bisa membela diri apalagi melawan.
Ia gampang menjadi sasaran korban kejahatan dan gampang juga dijadikan atau
direkrut sebagai pelaku kejahatan. Berbagai kejahatan yang dilakukan dewasa
saat ini mulai menggunakan anak sebagai tameng kejahatan.
Sementara
sikap protektif berlebihan juga berpengaruh pada pencapaian tumbuh kembang
anak yang maksimal. Kegiatan-kegiatan tertentu pada anak dilarang karena anak
takut celaka, padahal anak untuk tumbuh menjadi manusia dewasa perlu
mendapatkan latihan, tantangan dan pengalaman yang berguna. Ruang gerak anak
menjadi sangat terbatas sehingga bisa mematikan bakat, minat dan potensi anak
untuk maju dan berkembang. Bakat, minat dan potensi anak perlu disalurkan untuk
melahirkan generasi yang unggul dan berkualitas. Anak perlu diberikan
kesempatan untuk berkreasi, berpartisipasi dan berkontribusi bagi pembangunan
yang saat ini sudah dijadikan sebagai bagian dari hak-hak anak. Suara dan
pendapat anak perlu didengarkan sehingga tercipta pembagunan yang responsif
anak.
Yang terbaik
bagi anak adalah berada diantara keduanya. Pada situasi tertentu, orangtua,
masyarakat dan stakeholder anak perlu sikap protektif untuk memproteksi
kepentingan terbaik bagi anak, namun di situasi yang lain perlu memberikan
kebebasan kepada anak menyangkut kebutuhan tumbuh kembang, partisipasi dan
perlindungannya. Kebebasan yang diberikan harus dalam bimbingan dan pengawasan
sehingga tidak kebablasan.
D. Dinamika Peran Masyarakat
Perlindungan
anak merupakan tugas semua pihak mulai dari orangtua, pemerintah dan
masyarakat. Kalaborasi yang baik dalam pembangian tugas dan tanggung jawab
antara pihak-pihak ini akan membuat anak semakin terlindungi. Bentuk dan jenis
peran perlindungan anak yang bisa diberikan beberapa pihak juga mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Perubahan yang
dinamis terjadi pada semakin besarnya peran masyarakat dalam perlindungan
anak.
Masyarakat
semakin peduli dengan anak dengan ikut serta memberikan perlindungan,
memberikan pemenuhan hak-hak anak, mengawasi, memberikan laporan atau pengaduan
terkait permalahan anak, melakukan rehabilitasi dan lainnya. Masyarakat yang terlibat
dalam perlindungan anak juga semakin banyak dan beragam, mulai dari LSM,
paguyuban, organisasi profesi, ormas, media massa, dunia usaha, yayasan atau
Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) berbentuk panti asuhan, lembaga
pendidikan, panti rehabilitasi dan sebagainya.
Peran serta masyarakat tersebut
sangat diharapkan pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak.
Pemerintah pusat hingga pemerintah daerah mempunyai keterbatasan dalam SDM dan
anggaran untuk mengwujudkan kesejahteraan anak Indonesia. Dengan adanya peran
masyarakat, anak-anak Indonesia lebih terlindungi dan terpenuhi hak-haknya
dengan baik sebagaimana yang diamanatkan dalam UU.
Bertambahnya peran serta masyarakat
terlihat apabila kita membandingkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dengan UU hasil revisinya yaitu UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak. Dalam UU No 23 Tahun 2002, peran masyarakat sangat kecil dan terbatas.
Peran masyarakat tersebut antara lain:
Sementara dalam UU No 35 tahun 2014,
peran masyarakat dalam perlindungan anak semakin diperluas. Hal ini memberi
peluang yang sebesar-besarnya bagi masyarakat yang terdiri dari banyak elemen
untuk berperan lebih maksimal. Di sisi yang lain menunjukkan bahwa pemerintah
punya keterbatasan baik menyangkut anggaran maupun SDM untuk melindungi
seluruh anak Indonesia. Ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh pemerintah bisa
diisi oleh masyarakat luas.
Diantara bentuk peran masyarakat
dalam perlindungan anak yang diperluas dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, antara lain:
a. Memberikan
informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan
perundang-undangan tentang Anak;
b. Memberikan
masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait Perlindungan Anak;
c. Melaporkan
kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak;
d. Berperan
aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak;
e. Melakukan
pemantauan, pengawasan dan Ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan
anak;
anak;
f. Menyediakan
sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang
anak;
g. Berperan
aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap anak korban.
h. Memberikan ruang kepada anak untuk dapat berpartisipasi
dan menyampaikan pendapat.
Dalam Perda Kepri No 7 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Anak juga dijelaskan tugas dan tanggung jawab pemerintah, tugas
dan tanggung jawab orangtua dan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak.
E. Peran Negara dan Pemerintah
Pemerintah
dan negara mempunyai tanggung jawab yang besar dalam perlindungan anak.
Tanggung jawab pemerintah tersebut mulai dari melahirkan kebijakan perlindungan
yang responsif anak, mengimplementasikan kebijakan yang ada lewat program dan
kegiatan, melakukan pengawasan atau monitoring evaluasi terhadap kebijakan,
memberikan sanksi dan hukuman kepada yang melanggar, menyiapkan anggaran dan
sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan tersebut.
Pemerintah
daerah juga mempunyai kewajiban yang besar dalam perlindungan anak seiring
dengan pelimpahan wewenangan urusan anak dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Respon Pemerintah Provinsi Kepri dan DPRD Kepri sebagai representasi
rakyat di Kepri tersebut dituangkan dalam bentuk lahirnya Perda Provinsi Kepri
No 7 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Perda anak pertama
di Indonesia ini menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Kepri sangat peduli
dengan perlindungan anak.
Dalam perda
tersebut diatur berbagai bentuk perlindungan anak terhadap anak di Kepri, Kota
Layak Anak, Forum Anak Daerah dan untuk kelembagaan yang melakukan pengawasan
dan perlindungan anak di bentuk KPPAD Provinsi Kepri. Beberapa kebijakan lain
seperti Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA), Perencanaan Pembangunan Responsif
Anak (PPRA) dalam penyusunan APBD, Perwako atau SK Walikota tentang pengawasan
warnet, jam belajar malam, dan lainnya. Kebijakan dan implementasi kebijakan
anak yang diambil selama rentang waktu 5 tahun tersebut menjadi acuan bagi
kebijakan anak selanjutnya.
Kebijakan daerah yang diambil di
Kepulauan Riau diikuti kemudian dengan penguatan kelembagaan perlindungan anak
dengan membentuk Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD)
Provinsi Kepri. Lahirnya Perda Kepri No 7 Tahun 2010 dan kelembagaan KPPAD
Kepri juga disikapi beragam oleh tujuh Pemerintah Kota/Kabupaten di Kepri. Ada
Pemko/Pemkab yang cepat merespon perlunya kehadiran Perda Perlindungan Anak dan
membuat kelembagaan KPPAD di tingkat kota/kabupaten dan ada juga yang lamban.
Ada pemerintah daerah yang baru berniat membuat Perda Perlindungan Anak setelah
mendapatkan tekanan publik seiring dengan banyaknya kasus anak yang terjadi.
Persoalan anak bisa menjadi bom waktu
yang sewaktu-waktu bisa meledak. Trend meningkatnya kasus anak dari tahun ke
tahun hampir di semua daerah termasuk di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan
kita sedang berjalan ke arah bom waktu. Ledakan-ledakan kecil sudah terjadi
sambil menunggu ledakan besar yang berpengaruh pada berbagai persoalan sosial.
Misalnya Kota Batam saat ini diketahui sebagai kota yang tingkat pertumbuhan
penduduknya sangat tinggi dibandingkan kota lain di Indoneia. Salah satunya
dipicu oleh angka kelahiran bayi yang sangat tinggi sehingga disebut baby
booming.
Meski demikian, masih banyak pihak
yang cepat merespon segala dampak dari perubahan tersebut, terutama terhadap
anaknya. Mereka yang memiliki kepekaan atau rasa intuitif ini melakukan
berbagai upaya untuk mencegah agar jangan sampai anaknya menjadi korban dari
situasi lingkungan yang buruk dan tidak responsif anak. Mereka mulai melakukan
berbagai langkah pencegahan permasalahan anak agar kelak bom waktu tidak
benar-benar meledak. Kita berharap yang terjadi hanya letupan kecil yang tidak
membuat terkaget-kaget.
F. Pentingnya Peran Komisi Perlindungan
Anak di Daerah
Urusan anak
merupakan salah satu urusan wajib pusat yang sudah dilimpahkan ke daerah
seiring dengan PP No 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pusat dan daerah.
Salah satu lembaga yang diharapkan bisa melakukan penguatan dan efektifitas
perlindungan anak di daerah adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
(KPAID). Namun perkembangan dan penguatan kelembagaan KPAID sampai saat ini
tidak terlalu mengembirakan karena kurang didukung penuh oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.
Provinsi
Kepri termasuk provinsi yang sangat merespon perlindungan anak sehingga
keberadaan KPAID tetap bertahan, bahkan mengalami peningkatan dan penguatan
kelembagaan setelah berganti nama menjadi KPPAD Kepri. Lainnya, hanya beberapa
provinsi, kota/kabupaten di Indonesia yang memiliki KPAID. Kalau dihitung KPAID
saat ini ada di 9 provinsi, dan di provinsi tersebut sedang giat-giatnya
dibentuk KPAID atau Komisi Pelrindungan Anak Daerah (KPAD) di tingkat
kota/kabupaten. Jumlah KPAID di tingkat kota/kabupaten sudah mencapai 30 lebih.
Kenyataan
seperti itu memberi gambaran bahwa sebagian besar kepala daerah tidak peduli
atau kurang peduli dengan perlindungan anak. Salah satu penyebabnya adalah
lemahnya payung hukum pembentukan KPAID/KPAD dalam UU Perlindungan Anak serta
tidak mengikat kepala daerah.Amanat pembentukan KPAID atau KPAD oleh pemerintah
daerah seperti yang disebutkan dalam revisi UU Perlindungan Anak No 35 Tahun
2014 tidaklah wajib, tapi kalau dipandang perlu. Pasal 74 ayat 2 tersebut
membuat kedudukan KPAID/KPAD lemah, padahal perannya sangat penting.
Biasanya
Pemerintah daerah yang tidak responsif anak tidak mau membentuk KPIAD/KPAD
karena melahirkan konsekuensi pemerintah daerah harus menyediakan anggaran.
Faktor lain yang membuat petinggi di daerah masih berpikir-pikir membentuk
KPAID/KPAD adalah masalah pencitraan. Banyak pemimpin yang merasa citranya
tercoreng atau tidak dianggap sukses bekerja bila permasalahan anak banyak
dilaporkan dan sebagian terangkat ke publik. Apalagi bagi kepala daerah yang
mau maju lagi sebagai calon incumbent.
KPAID yang sudah terbentuk di
beberapa daerah selama ini hanya disupport oleh dana hibah yang sangat kecil
jumlahnya. Padahal kasus dan permasalahan anak yang ditangani sangat banyak dan
digunakan juga untuk pendampingan korban, sosialisasi atau pencegahan, monev,
kajian atau penelitian. Anggaran KPAID kembali kepada anak dan masyarakat,
hasilnya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Bermanfaat langsung kepada anak
dan masyarakat, bangsa dan negara. Ada KPAID di daerah lain dianggap sama
sebagai LSM, bahkan lebih rendah dari itu bila dilihat dari anggaran yang
diberikan. Padahal KPAID adalah lembaga independen di daerah (organ daerah)
yang bertanggung jawab langsung ke gubernur dan walikota/bupati.
Akibatnya, tahun 2007 banyak
terbentuk KPAID di Indonesia dan hampir di semua daerah. Setelah itu, banyak
KPAID yang redup dan mati. Hal tersebut berlangsung hingga saat ini, seperti
yang terjadi menimpa KPAID Sumut. KPAID Sumut tahun 2015 ini tidak mendapatkan
dana hibah lagi dari Pemprov Sumut, dana hibah atau bansos justeru dinikmati
segelintir oknum pejabatnya. Meski demikian, semangat perlindungan anak tetap
terpatri pada diri komisioner KPAID Sumut dan KPAID di daerah lain yang tetap
memberikan perlindungan anak dengan anggaran terbatas.
Dalam situasi seperti itu, KPAID yang bertahan adalah
KPAID yang mendapatkan perhatian pemerintah daerah dan bisa melakukan
penguatan. Salah satunya adalah KPPAD Kepri. Provinsi Kepri termasuk provinsi
yang sangat respon dengan perlindungan anak sehingga keberadaan KPAID tetap
bertahan, bahkan mengalami peningkatan dan penguatan kelembagaan setelah berganti
nama menjadi KPPAD Kepri. Dari tahun ke tahun, KPPAD Kepri terus berkembang dan
sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Kepri. KPPAD Kepri telah
membuktikan lembaganya bisa melakukan perlindungan anak dan menciptakan
efektifitas perlindungan anak di Kepri dengan baik. Mudah-mudahan
langkah-langkah penguatan kelembagaan KPPAD Kepri ditiru oleh KPAID daerah lain
di Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)